Tugas Mata Kuliah : Wawasan Pengembangan
Pendidikan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd.
LANDASAN
FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN
OLEH:
RUSMAN
LATIF
PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
LANDASAN FILSAFAT
DALAM PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian penting
dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya, sedangkan manusia
belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju
kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya
dan manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik
anak-anaknya, begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan
mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan,
pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungi
sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk memegang
peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan,
sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga tersebut
memberikan pengerian bahwa pandidikan bukan hanya transfer of knowledge
tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan dapat menjadi helper
bagi umat manusia.
Landasan Pendidikan marupakan salah
satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan.
Adapun cakupan landasan pendidkan adalah : landasan hukum, landasan filsafat,
landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan
ekonomi. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai landasan filsafat.
Filsafat ialah hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sesuatu
dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat membahas
segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan,
filsafat seni, filsafat agama, dan sebagainya.
Jadi berfikir filsafat dalam
pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan.
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab
oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya0
: apakah yang dimaksud dengan
pengetahuan dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam
ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan
bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita
mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk
anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju
ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu
pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil
yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
B. Pengertian Tentang Landasan Filsafat
Terdapat kaitan yang erat antara
pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan citra tentang
manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra
itu. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan
tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan jawaban
secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan,
seperti apa mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari
pendidikan itu. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi
landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal
itu sangat penting karena hasil pendidikan itu akan segera tampak, sehingga
setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatanya
meskipun hasilnya belum dapat dipastikan.
Filsafat membahas sesuatu dari
segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari
segi yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung
es, kita hanya mampu melihat yang diatas permukaaan laut saja. Sementara itu
filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala
sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat
cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan etika, dengan
kandungan materi masing-masing sebagai berikut :
- Metafisika
ialah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat
di alam ini. Dalam kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu :
Manusia pada hakekatnyanya adalah spiritual. Yang ada
adalah jiwa atau roh,yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan
jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan
ini dianut oleh kaum Idealis,Scholastik,dan bebrapa Realis.
Manusia adalah organism materi. Pandangan ini dianut
kaum Naturalis, Materialis,Eksperimentalis,Pragmatis,dan bebrap realism.
Pendidikan adalah untuk hidup Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia
menjadi menyenangkan.
- Epistemologi
ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan
dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut : Ada
lima sumber pengetahuan yaitu :
·
Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi
·
Common sense,yang ada pada adat dan tradisi.
·
Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
·
Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
·
Pengalaman yan terkontrol untuk mendapatkan
pengetahuan secara ilmiah
C. Aliran dalam Filsafat
Agar uraian tentang filsafat
pendidikan itu menjadi lebih lengkap, berikut ini kan diuraikan bebrapa aliran
filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :
1.
Filsafat Idealisme menegaskan bahwa hakekat kenyataan
adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas
hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran berfilsafat
spiritual atau mental.Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai kebenararan
atau nilai sejati yang obsolut dan abadi.Terdapat variasi pendapat beserta
namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme,
neokantianisme, dan sebagainya. Variasi itu antara lain menekankan pada akal
dan rasio pada rasionalisme atau sebaliknya pada ilham untuk irasionalisme, dan
lain-alain. Meskipun terjadi variasi pendapat tersebut, namun pada umunya
aliran itu menekankan bahwa pendidikan merupakan kegiatan intelektual untuk
membanglkitkan ide-ide yang masih laten, anatara lain melalui intropeksi dan
Tanya jawab. Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan, sekolah berfungsi
membantu siswa mencari dan menemukan kebenaran, keindahan dan kehidupan yang
luhur.
2.
Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari
kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah
yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja.
Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman
romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang
dikenal dengan nama Great Book. Buku
ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia –manusia
berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu
kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld.
3.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang
mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi kegunaan pragtmtis;dengan
kata lain paham ini menyatakan yang berpaedah itu harus benar, atau ukuran
kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia .
4.
Filsafat paranialisme dan esensialisme, yakni keduanya
membela kurikulum tradisonal yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok
(subject centered). Perbedaanya ialah perenialisme menekankan keabadian teori
kehikmatan yaitu :
·
Pengetahuan yang benar (truth)
·
Keindahan (beauty)
·
Kecintaan kepada kebaikan (goodness)
Oleh karena
itu, dinamakan perenialisme karena kurikulumnya berisi materi yang konstan atau
perennial. Prinsip pendidikan antara lain:
a)
Konsep pendidikan itu bersifat abadi,karena hakekat
manusia tak pernah berubah
b)
Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususkan
makluk manusia yang uni, yaitu kemampuan berpikir.
c)
Tujuan belajar adalah mengenal kebenaran abadi dan
universal
d)
Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya.
e)
Kebenaran abadi itu ajarkan melalui
pelajaran-pelajaran dasar (basic subject).
5.
Filasafat Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan
yang logis dari cara berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya
belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini disekolah.
Tetapi haruslah memelopori masyarakat kearah masyarakat baru yang diinginkan.
Dengan demikian tidak setiap individu dan kelompok akan memecahkan
kemasyarakatan secara sendirisendiri sebagai progresivisme. Oleh karena itu,
sekolah perlu mengembangakan suatu ideology kemasyarakatan yang demokratis.
Keunikan konstruksionisme ini ialah teorinya. Mengenai peranan guru, yakni
sebagai pemimpin dalam metode proyek yang memberi peranan kapada murid cukup
besar dalam proses pendidikan.Namun sebagai pemimpin penelitian, guru dituntu
supaya menguasai sejumlah pengetahuan dan ilmu esensial demi keterarahan
pertumbuhan muridnya.
D. Kondisi Filsafat Pendidikan Saat ini, Menuju Filsafat
Pendidikan Alternatif
Jika
lagi-lagi terbatas dalam sistematika struktur formal dan isinya begitu dan
sejauh itu saja, sungguh layak bahkan wajib diajukan pertanyaan: mana Filsafat
Pendidikan Altematif itu? Ya, sesungguhnya pertama-tama, penulis bertanya: ada apa den gan Filsafat Pendidikan? Teryata banyak
apa-apanya itu, maka suatu pemikiran alternatif sungguh tepat waktunya untuk
dimulai. Berikut beberapa catatan penulis yang layak dikemukakan.
1.
Pertama. Dalam tinjauan
penulis, kajian kita masih mengulit-bawang, hanya untuk memenuhi kewajiban
kurikuler saja. Mungkiri sekali di antara faktor faktor lain yang menghambat
adalah ketersediaan kepustakaan yang terbatas, penguasaan bahasa asing yang
lemah, sedang lingkup issue permasalahan makin mendunia, dan suasana
pembahasannya relatif asing karena banyak yang tidak sesuai dengan tradisi dan
kebudayaan kita di Indonesia.
2.
Kedua. Pancasila sudah ditetapkan serta
diumumkan dengan resmi dan pasti sebagai Filsafat bangsa dan negara Indonesia.
ini dikuatkan dalam UTJD, semua perundang undangan, dan pemyataan resmi para
pemimpin dan pejabat. Jadi, hal ihwal filosofis tentang kebenaran ontologis dan
kebaikan aksiologis yang paling esensial dalam semua bidang kehidupan, demikian
juga metoda epistemologisnya, asumsinya sudah (harus, dan dapat?!) terjawab
oleh Pancasila.
3.
Ketiga. Prinsip dan apalagi
reranting sebagai detilnya yang diasumsikan itu harus sudah terjawab atau jawabannya
sudah tersedia. Namur, dalam kenyataannya banyak yang tidak lengkap atau bahkan
masih banyak yang kosong. Padahal yang dimaksud itu pun masih dalam tatanan
kognitifnya. Demikianlah masih ada kekurangan dalam aturan susunan organisasi
kenegaraan, begitu pula dalam politik, dalam hukum, juga dalam pemerintahan.
Ya, kekurangan serupa masih dirasakan dalam perekonomian, dalam hubungan luar
negeri atau antar-bangsa, dan lain-lain, serta last but not least begitu juga
dalam bidang pendidikan!
4.
Keempat. Berhubung kekurangan
atau kelemahan kognitif seperti demikian itu yang dialami oleh sebagian
terbesar warga masyarakat, maka telah diusahakan interpretasi nasional yang
dilakukan oleh satu badan resmi dan yang diberi wewenang membuat tafsiran resmi
tentang Pancasila. Lalu, bahan-bahan itu diindoktrinasikan secara luas. l)engan
begitu, scakan-akan selesailah sesuatunya tentang kebenaran dan kebaikan esensial
tertinggi menurut Pancasila, termasuk metodologinya. ‘I’ernyata perbendaharaan
warga negara mi mengenai aspek kognitifnya saja dan Pancasila itu masih lemah,
dan dibatasi oleh tafsiran resmi atas nama Negara dan Pcmcrintah yang dianggap
sudah final, eksktusif atau tertutup. Dalam tingkat serta konteks global dan
nasional hingga akar rumput kini tengah terus mengalami banyak perubahan. Yang
dahulu sudah dianggap final itu, kirii ternyata masih berupa kebenaran,
kebaikan dan keindahan di permukaan, dan dalam ontologi semantik yang terbatas.
Umpamanya, pada salah satu rerantingnya ada tafsiran tentang bumi, air dan
kekayaan alam yang dikuasai negara (baca: BUMN), namun angin ekonomi keuangan-investasi
global yang asing bertiup lebih keras lagi. Juga ada pcrikemanusiaan,
kebangsaan Indonesia, dan keadilan sosial, namun di mana-mana itu tidak atau
belum jadi perbendaharaan filosofik yang signifikan. Berikuthya dan lebih
signifikan lagi adalah masih sering berkumai-idangnya tafsiran yang berbau
sekularisme di banyak lingkungan cut politik dan elit pengusaha, sedang di
banyak lingkungan elit terpelajar lebih banyak tafsiran yang
positifis-rasional-ilmyah bebas-nilai (value-free).
5.
Kelima. Tatkala Filsafat itu,
termasuk Pancasila, dalam domain kognftifnya bagi kebanyakan pihak masih menunjukkan
bulir-butir ketidakjelasan, kelemahan, atau bahkan kontradiksi, orang layak
bertanya tentang apa dan bagaimana artinya secara afektif, konatif
(psikomotor)? Lebih-jauh, bagaimana nasibnya hubungan nilai-nilai
kognitif-afektif-konatif demikian dengan pola keperilakuan praktis di tingkat
kebijakan dan operasional? Dalam hal mi, fakta-fakta obyektif sendiri yang
teradi di mana-mana adalah jawabannya yang paling sah dan terpercaya. Lalu,
berhubung badan resmi penafsir Pancasila itu kini sudah tidak ada, apakah
kajiannya pun sudah dianggap selesai dan kelanjutannya tidak diperlukan lagi?
Atau akankah dibcntuk badan resmi lagi yang baru? Ataukah untuk tatanan dan
aspek teoretik kognitifnya, apakah isyarat dan gejala umumnya yang membuka
kebebasan serta hak asasi manusia artinya membuka liberalisasi juga dalam
Filsafat Pancasila, khususnya di bidang Pendidikan?
D. Prinsip-Prinsip Filsafat Pendidikan Alternatif
Berikut
beberapa prinsip dan Filsafat Pendidikan Alterriatif, sebagai pilihan strategik
dalam sejumlah tatanan dan tingkatan dinamiknya, yang penulis tengah jadikan
kajian.
1.
Adakah kesadanan diri seberapa
signifikan? Kesadaran dirii berfokus pada apa? ) di mana mana posisi kesadaran
din kita kini, besok dan selanjutnya? Belajar Filsafat dalam arti urnum, dalam
bidang pendidikan serta mendidik khususunya, pada hemat saya harus bermula
dengan pendalaman terhadap altematif-altematif jawaban di atas. Sebab, tiap
zaman ada Filsafatnya, alau yang disebut Zeit Geist. Kajian penulis cenderung
menyimpulkan sebagai berikut: Ada kompleksitas, yaitu kondisi situasi umum
antara keteraturan dan chaos, di marna-mana dan setiap saat, ditandai dan
didorong terutama oleh faktor-faktor berikut:
a)
Setelah Perang Dunia II, dan
setelah berakhirnya perang dingin, muncul pandangan mendunia tentang
perbenturan peradaban (clash of civilization), dan berakhirnya sejarah (the end
of history);
b)
Sedang terjadi krisis umum,
yang ditandai rising expectations untuk pembangunan, perluasan polusi,
pemanasan global, mara bahaya alam, perbedaan menyolok antara kaya-mewah dan
miskin-lapar-sakit menderita;
c)
Menghadapi lingkungan yang
makin kompetitif yang kebanyakannya tidak bersahabat, langkah dan perbuatan
untuk self-survival makin berkembang
di mana-mana, di semua bidang, semua tingkat organisasi-lembaga, hingga semua
pribadi, dengan macam-macam implikasi dan konsekuensinya.
2.
Kedua. Dalam konteks
sebagaimana digambarkan di atas, sebagai ikhtiar jalan keluarnya nampak
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut:
a)
Di satu pihak ada yang
membangun kepercayaan dan kesadaran filosofis untuk adanya Satu Pemerintah
Dunia (One World Government) atau setidaknya Satu Sistem Pemerintahan Dunia
(One World Governance System), atau Satu Hegemoni Dunia dalam keunggulan
sains-teknologi, sumber daya intelektual, teknologi informasi-komunikasi,
ekonomi-keuangan-perbankan, monopoli persenjataan nuklir pemusnah massal.
b)
Di lain pihak secara esktrim
ada yang membangun kepercayaan dan keyakinan untukjustru menentng filsafat dan
kecenderungan aplikasinya dengan segala daya upaya, dalam arti software dan
hardware, termasuk gerakan gerilya dan tindakan-tindakan teror.
c)
Di antara dua model
kecenderungan dengan masing-masing dukungan aliran filosofisnya tsb., banyak
aliran-tengah yang pragmatik, moderat dan campuran, sejak yang dengan aktif
atau diam-diam bebas-merdeka hingga yang menjual identitas peribadi, kekayaan
alam dan kesatuan bangsanya.
3.
Ketiga. Dengan memperhatikan
latar belakang itu, Filsafat Pendidikan Altematif yang penulis hendak tawarkan
mencakup prinsip-prinsip berikut:
a)
Kesadaran akan nilai tertinggi
pada sains-teknologi di tengah adanya gonjangganjing sistem nilai. Yang
demikian itu secara empirik dan logik-rasional dapat dipertanggungjawabkan.
Dewasa mi di mana-mana sedang terjadi apa yang disebut dengan migration of
values. Sistem nilai sebagaimana halnya dengan dualitas gelombang-partikel
terus bergerak dan menimbulkan bermacam interferensi. Ada inter-relasi,
inter-aksi antara unsur-unsumya yang positif dengari yang positif lagi, dan
antara yang positif dengan yang negatif, dn yang negatif dengan yang negatif.
Para ahli lain menyatakannya dengan konsep yang disebut upward and downward
spiral dynamics of values. Maka ummat manusia dengan alamnya, any where and any
time, tengah mengalami dan menghadapi perbuatan dan peristiwa yang berbobot
nilai baikburuk, benar-salah, adil-khiyanat, cinta-benci, bermanfaat-merusak.
Hidup dan kehidupan yang berubah makin penuh gejolak itu makin banyak dihiasi kombinasi
dan variasi antara yang direncanakan dan bukan direncanakan, yang dikehendaki
dan tidak dikehendaki, yang dapat diramalkan dengan yang tidak bisa diramalkan.
Ada kepastian sementara, namun di berbagai bidang dan sektor serta pada
berbagai tingkat, ternyata lebih banyak lagi ketidak-pastian.
Lalu konsekuensi bagi kita yang paling logis,
dalam menetapkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan serta keindahan dan
mendidik maupun dan sistern pendidikan itu, dalarn kondisi situasi yang penuh
kompleksitas dan chaos itu, kita haruslah memilih atau merujuk secara sah pada
nilai-nilai demikian yang mutlak dan kekal, yang bersumber pada Allah al-Akbar,
al-Wahidu al-Ahad, alQidarn, al-Baqo. Periksa lebih lanjut Sifat Duapuluh dan
al-Asmaa-ul llusnaa. Jadi sebagai satu prinsip paling mendasar, mendidik yang
benar adalah yang membangun dan mengembangkan:
·
kesadaran-diri (siapa aku, apa dan berapa besar potensiku, apa
kewajibanku, apa kemampuanku, apa kekuranganku, apa kesalahanku, apa tanggungjawabku,
hams ke mana pilihanku yang lebih baik sclanjutnya, apa dan kapan akhir
hidupku, bersama apa dan siapa),
·
kesadaran bersama (siapa kami
dan kita, apa dan berapa besar potensi kami dan kita, apa kewajiban kami dan
kita, apa kemampuan kami dan kita, apa kekurangan kami dan kita, apa kesalahan
kami dan kita, apa tanggungjawab karni dan kita, harus ke mana pilihan kami dan
kita yang lebih baik selanjutnya, apa dan bagaimana serta kapan akhir hidup
kami dan kita, bersama apa dan dengan siapa),
·
Satu dan lain, makna
kesadaran-kesadaran itu dalam konteks lingkungan alam dan lingkungan
sosial-ekonomi-politik-sains-teknolo-gi-budaya, di hadapan Allah swt. al-Wujud,
al-’Alim, al’Khobir, al-S yahadah, al-Rohman, ar-Rohim. Sesuatunya, kesadaran
dalam iman.
b)
Dalam dan dengan kesadaran itu,
merididik yang benar adalah mengembangkan segala inteligensi dan para terdidik.
Mendidik dalam arti demikian dilakukan secara bertahap mengernbangkan segenap
multiple-intelligences dari para terdidik. Yaitu, secara bertahap dan
berkelanjutan hingga mencapai titik dan garis berimbang, komprehensif,
integratif dan inteligensi yang umum maupun yang khas, yang di otak sebelah kin
dan di otak sebelah kanan, pendek kata keseluruhannya. Minimal lima kali setiap
ban kita diwajibkan mengelolasegenap intelijensi, dan belajar makin cerdas dan
ikhlas.
c)
Jika orang atau para ahli
menyebut potensi istimewa itu dengan istilah Brain Power, penulis coba
memperkenalkannya dengn konsep al-Mud-ghoh. Lalu jika para ahli dan peminat
banyak yang memperkenalkan konsep Physical and Kinestetical Intelligences, lalu
Intellectual Intelligences dan Intellectial Quotients (II dan IQ), lalu
Emotional Intelligences dan sementara pihak Emotional Quotients (El dan EQ),
juga Spiritual Intelligences dan sementara pihak Spiritual Quotients (SI dan
SQ), penulis menyebut potensi istimewa dalam perkembangannya itu dengan konsep
Al-Qolbu.
d)
Sekaligus konsep al-Qolbu itu
penulis sistematisir karakteristiknya, hingga ada al-Qolbu al-Maridh dan
al-Qolbu as-Salim. Dalam sistematika ini, penulis merujuk pada konsep Kufur,
Inkar, Munafiq di satu sisi, dan konsep Iman- Islam Ihsan di sisi lain.
e)
Bahwa iman seseorang itu
sewaktu-waktu bisa naik (bertambah intensif) atau menurun (berkurang dan
melemah). Bahwa dalam Islam itu ada batasan Wajib Sunnah-Mubah-Makruh-Haram.
Bahwa dalam perbuatan seseorang itu ada bobot ihsan dan ridho, dan bobot
non-ihsan. Yang non-ihsan itu mencakup gagasan, sikap, fiat dan perbuatan yang
ragu atau was-was, hingga mementingkan din sendiri, yang keliru dan salah, yang
munafik, hingga yang membawa beban dan kerusakan.
f)
Maka mendidik itu pada
hakekatnya adalah membantu terdidik dapat mengolah segala intelijensinya,
dengan penjelasan dan penegasan yang didasari serta yang selalu sesuai dengan
batasan nilai-nilai Iman-Islam Ihsan.
g)
Berhubung dengan lingkungan
alam dan lingkungan sosial-ekonomi-politik budaya hingga kini dan han esok yang
umumnya tidak stabil, maka proses demikian harus difokuskan pada usaha
pembentukan kemampuan yang intensif secara mandiri, yaitu mampu melakukan
ikhtiar ihtihadiyah sedemikian rupa sehingga terdidik mampu berselancar secara
mandiri dan bersama di atas berbagai ujian, godaan dan cobaan, atau
kondisi-kondisi chaos sekalipun. Ikhtiar yang dimaksucadalah membuat pilihan
strategik yang dalam keadaan bagaimanapun, berbasis iman atau didukung keimanan
pada Allah swt. AlHaady.
h)
Jika demikian hanya, maka
belajar serta mempelajari FP (dalam arti esensialia kebenaran dan kebaikan
serta keindahan mendidik dan pendidikan, berikut metodenya) hingga batas dan
tingkat tertentu itu, merupakan satu kewajiban bagi setiap orang yang sudah dewasa.
Dan kewajiban itu berlangsung terusmenerus seumur hidup hingga yang
dipelajarinyajadi a true justified belief. Bagi kita, ia merupakan titik dan
garis dan daerah perpaduan antara kebenaran dan kebaikan hakiki (the ultimate
and absolute truths) — di satu pthak — dengan yang kita percayai berkat segala
kemampuhan kita sendiri — di lain pihak —, hingga merupakan sistem keyakinan
yang paling tepat yang dapat kita miliki.
4.
Keempat. Penulis mengajukan
bahwa dalam dan dengan kesadaran-kesadaran sebagaimana di atas, mendidik itu
dalam setiap sistem pendidikan hendaknya bermuatan isi (contents) yang
betul-betul dikuasai oleh pendidik. Lagi pula isi itu disusun dalam kurikulum
tentang alam makro dan alam mikro, kosmos raksasa dan kelompok-kelompoknya,
satuan-satuannya, bagian-bagiannya, rumpun. rumpunnya, satuan-satuannya. Ya,
isi itu lebih jauh mencakup komponen komponennya yang paling besar hingga yang
paling atomistik, berikut hukumhukumnya secara struktural maupun fungsional
hingga keperilakuannya. Untuk itu pendidik dan terdidik wajib mengerahkan
kemampuan berpikir logik, nasional, ilmiah, yang sekaligus juga obyektif,
empirik, terukur hingga mencapai probabilitas tepatnya kesimpuan tertinggi. ada
al-Qolbu al-Maridh dan al-Qolbu as-Salim. Dalam sistematika mi, penulis merujuk
pada konsep Kufur, Inkar, Munafiq di satu sisi, dan konsep Iman-IslamIhsan di
sisi lain.
5.
Ringkasnya tentang isi dalam
didikan dan sistem pendidikan itu mencakup berbagai bidang dan matapelajaran
dalam ilmu kealaman, kirnia, ilmu hayat, ilmu tubuh manusia, ilmu kemanusiaan,
ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan teknologi. Jika itu semua boleh jadi pilihan
strategik pembelajar scsuai dengan baka dan minat utamanya, maka belajar
contents lain, yaitu ilmu tauhid dan ilmu syari’ah adalah wajib hukumnya bagi
seliap pembelajar dewasa. Filsafat Mendidik dan Pendidikan kita haruslah
barbasisdan berbobot nilai, atau kata sementara ahli bahwa mendidik dan
pendidikan itu haruslah value-based, even mega-velue-based. Didaktiknya maupun
sistem penilaiannya ada yang bersifat natural dan profesional.
E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
1.
Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap
upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan
landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah
cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang guru.
Disamping penguasaan terhadap apa
dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia
melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan
dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada
setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya
harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta
non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga
kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan
(tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya
dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan
instruksional khusus.
Perlu digarisbawahi di sini adalah
tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan
sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat
proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya
berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal
antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek
didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya
masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak
terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot
yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan
penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.
2.
Implikasi bagi Pendidikan
Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila
dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan
tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori
tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan
luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa sama sekali
didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan
masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada
diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi
bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa
belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan
guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun
terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi
calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan
sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan
sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabatan-jabatan lain
dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan,
sekurang-kurangnya secara parsial, akan tetapi apabila di implementasikan,
sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru
dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan
tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai
di dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan
didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic).
Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang
diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh
hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut
masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan
interpretif, normatif dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian
uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu
asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi
program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud
merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun
didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan
ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Daftar
Pustaka
Bahri, Syamsul. 2007. Landasan
Pendidikan. (http://www.wordpress.com/
syamsulbolg.html, diakses tanggal 22 Maret 2007).
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Natawidjaja, Rochman dkk.2007.
Rujukan Filasfat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan. Jakarta. UI Press.
Pidarta, Made. 1997. Landasan
Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan
Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
PTS Online. 2007. Pentingnya
Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan. (http://www.pts.co.id/filsafat.asp, diakses tanggal 22 Maret 2007).
Seels, Barbara B dan Richey, Rita C.
1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan Kawasannya. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
Setiawan, Muhammad. 2007. Filsafat
Pendidikan dan Implikasinya. RBI-Online. (www.rbi-online.com/filsafat-pendidikan-dan-implikasinya.html, diakses tanggal 22 Maret 2008).
Tirtarahardja, Umar dan Sulo,
S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Comments
Post a Comment