Skip to main content

RESENSI BUKU FILSAFAT BAHASA KAELAN

Tugas Resensi Buku
FILSAFAT BAHASA

Disusun oleh:
Andi Sahtiani Jahrir


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
PROGRAM DOKTORAL
2017/2018

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji syukur bagi Allah yang telah memberikan hikmat-Nya kepada penulis, sehingga Ringkasan Buku Drs. Kaelan, M.S. ini yang berjudul Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya dapat terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses rampungnya ringkasan ini. Terima kasih yang sangat mendalam kepada Prof. Dr. Ide Said D.M. sebagai dosen pengampu matakuliah Filsafat Ilmu yang telah berupaya membimbing dan mengarahkan penulis dalam meringkas isi buku yang diterbitkan oleh Paradigma, Yogyakarta.
Penulis menyadari, bahwa walaupun segenap kemampuan telah tercurah demi kesempurnaan ringkasan ini. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa penyusunan ringkasan ini tak terlepas dari berbagai kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan sarannya sangat diharapkan demi perbaikan dalam penyusunan  ringkasan berikutnya.
Semoga ringkasan ini mampu  menambah wawasan dan manfaat bagi kita semua. Amin.


Makassar, 19 Oktober 2017


                                               Andi Sahtiani Jahrir
                                            























DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A.    Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B.    Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa .............................................................................. 3
C.     Tujuan  ............................................................................................................................. 3

BAB II  PEMBAHASAN FILSAFAT...................................................................................... 5
A.    Pengertian Filsafat Bahasa ............................................................................................... 4
B.     Hubungan Filsafat Dengan Bahasa .................................................................................. 5
1. Hubungan bahasa Dengan Metafisika ...................................................................... 5
            2. Hubungan Bahasa Dengan Epistemologi ................................................................. 6
3. Hubungan Bahasa Dengan Logika ........................................................................... 7
C.     Lingkup Filsafat Bahasa .................................................................................................. 7
D.    Kesimpulan ....................................................................................................................... 8

BAB III  BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT ................................. 8

BAB  IV  FILSAFAT ANALITIKA ...................................................................................... 18

BAB V  HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA .............................................. 25

BAB VI  HAKIKAT BAHASA SEBAGAI  DASAR FILSAFAT TEORI
              BAHASA ................................................................................................................. 34

BAB VII  PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME …………...39

Daftar Pustaka……………………………………………………………………...……43 

















IDENTITAS BUKU


Judul Buku         : Filsafat Bahasa ……….(Masalah.dan    ……….Pengembangannya)
Penulis                  : Prof. Dr. Kaelan, M.S
Penerbit               : Paradigma
Kota terbit           : Yogyakarta
Halaman Buku    : 326 Halaman
ISBN                     : 978979865806
Harga                   : Rp86.000,00













BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu..
Minat seseorang terhapad kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika corax dan cicero pada zaman yunani dan romawi abad 4 – 2 sm hingga saat ini (post modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu: 1) filsafat mengenai bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini, akan dibahasa lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-gari besar yang dibahas yaitu : spekulasi asal-usul bahasa, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terahadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahas.Filsafat bahasa adalah penyelidikan beralasan ke alam, asal-usul, dan penggunaan bahasa. Sebagai topik, filsafat bahasa bagi para filsuf analitik berkaitan dengan empat masalah utama sifat makna, penggunaan bahasa, kognisi bahasa, dan hubungan antara bahasa dan realitas.
Untuk filsuf kontinental. Namun, filsafat bahasa cenderung ditangani, bukan sebagai topik yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari logika, sejarah atau politik.
Pertama, filsuf bahasa  menanyakan sifat makna, dan berusaha untuk menjelaskan apa artinya "berarti" sesuatu. Topik dalam pembuluh darah yang meliputi sifat sinonim, asal-usul makna itu sendiri, dan bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Proyek lain di bawah judul ini kepentingan khusus filsuf analitik bahasa adalah penyelidikan cara yang tersusun menjadi kalimat keluar keseluruhan bermakna arti bagian-bagiannya.
Kedua, mereka ingin memahami apa yang pembicara dan pendengar lakukan dengan bahasa dalam komunikasi, dan bagaimana digunakan sosial. Kepentingan khusus dapat meliputi topik pembelajaran bahasa, penciptaan bahasa, dan tindak tutur.
Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran baik dari pembicara dan penerjemah. Dari minat tertentu adalah dasar untuk terjemahan keberhasilan kata menjadi kata lain.
Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis apa makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf berorientasi kebenaran bahasa mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau salah, atau apakah kalimat dapat mengekspresikan proposisi tentang hal-hal yang tidak ada, bukan seperti kalimat yang digunakan.
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Seseorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad ke-4 SM sampai abad ke-2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Kaelan telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu :
1.      Filsafat mengenai bahasa; dan
2.      Filsafat berdasarkan bahasa.
Di dalam pembahasan buku Drs. Kaelan M.S ini, akan dibahas lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Adapun garis-garis besar yang dibahas yaitu : (1) bahasa sebagai sumber perhatian filsafat, (2) filsafat analitika, (3) hakikat bahasa dalam hermeneutika, (4) hakikat bahasa sebagai  dasar filsafat teori, (5) peranan bahasa dalam filsafat postmodenisme, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terhadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahasa serta keterbatasan bahasa.

B. ]Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa
Berfilsafat adalah  berusaha menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan berpikir serius.  Kecakapan berpikir serius sangat diperlukan oleh setiap orang.  Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan sampai saat ini.  Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani secara serius, hanya diwacanakan saja. 

C.   Tujuan
Tujuan mempelajari filsafat (termasuk filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi persoalan dengan tuntas dan logis.  Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini jika ia tidak melatihnya.  
















BAB II
PEMBAHASAN FILSAFAT

A.    Pengertian Filsafat Bahasa 

Kendati setiap manusia berbahasa dan melalui bahasa mereka dapat berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta bahasalah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan yang lain, tidak banyak orang memberikan perhatian pada asal usul bahasa. Orang hanya take for granted bahwa bahasa hadir bersamaan dengan kehadiran manusia, sehingga di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Jadi bahasa adalah given. Orang mulai menanyakan asal mula bahasa ketika ada persoalan mengenai hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang ditandai, hakikat makna, dan perbedaan makna kata yang mengakibatkan kesalahpahaman. Para ahli lebih memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam bahasa, perubahan bahasa, wujud bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa, pengaruh bahasa, perencanaan bahasa, pengajaran bahasa, perolehan bahasa, evaluasi dan sebagainya daripada melacak sejarah kelahirannya. Padahal dengan mengetahui sejarah kelahirannya akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang bahasa.
Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat memang mulai dikenal dan berkembang pada abad XX ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis,1976). Filsafat Bahasa baru dikenal dan berkembang pada abad xx, namun berdasarkan fakta sejarah hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman yunani.
Perkembangan sejarah filsafat bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam pengertian yaitu:
Pertama, Perhatian filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam filsafat.  Pada periode abad XX para filosof semakin sadar bahwa banyak problema-problema serta konsep-konsep filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa misalnya berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, keadilan, kewajiban, kebaikan dan pertanyaan fundamental filosofis lainnya dapat dijelaskan dan diuraikan melalui analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.
Kedua, Filsafat bahasa dalam bidang-bidang filsafat lainnya seperti filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat alam, filsafat sosial dan bidang-bidang filsafat lainnya yang membahas , menganalisis dan mencari hakikat dari objek material filsafat tersebut.
Jadi Bahasa sebagai objek material filsafat, sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang bahasa seperti apakah hakikat bahasa itu sebagai substansi yang merupakan makna saja yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dimengerti.

B.  Hubungan Filsafat dengan Bahasa

Definisi lain, bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh mackey (1986:12).
Menurut wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu system symbol yang tidak hanya merupakan urutan-urutan bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Dengan demikian bahasa adalah merupakan system symbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Bertrand Russel mengatakan bahwa bahasa memiliki kesusaian dengan struktur realitas.
Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak jika tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun diakui bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, mereka tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.
Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya. Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan).
Maka dapat dikatakan bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabang-cabang filsafat metafisika logika dan epistemologi.
1.         Hubungan Bahasa dengan Metafisika
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya  dengan istilah ‘sofia dan teologi’ secara etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa yunani ‘ta meta ta physica’yang secara harfiah di balik fisika atau udi balik hal-hal yang bersifat fisik.      
Chistian Wolf, metafisika meliputi dua cabang yaitu ontology dan kosmologi umum, teori mengenai roh, adapun teori mengenai roh dibagi atas psikologi dan teologi  kodrati (natural).
Metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis bahasa terutama karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris
Misalnya, pertanyaan- pertanyaan fundamental yang diajukan oleh plato. Apakah keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontadiksi, kebaikan , adalah upaya-upaya secara analitik melalui bahasa untuk membuat eksplisit tentang pertanyaan- pertanyaan metafisis tersebut.
2.      [endif]Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, yang secara etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahun manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia.
Selain dalam pengetahuan peranan penting bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi yaitu :
a.   Teori kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
b.  Teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
c.   Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan praktis manusia.

3.  Hubungan Bahasa dengan Logika
Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut berpikir. Maka peranan bahasa di dalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapaun bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan, dan penalaran atau reasoning.
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena amfiboli (amphibolia).

C.    Lingkup Filsafat Bahasa
Menurut keraf dalam smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip yang jelas  dan terdifinisikan dengan baik (Alston, 1964 : 1). Hal ini disebabkan karena penganut-penganut fisafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan diantara mereka, yaitu bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadapa bahasa baik sebagai objek materi dalam berfisafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat.

D.   Kesimpulan
Filsafat dan Bahasa adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.  Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pembahasan filsafat bahasa sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat bahasa memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi  harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi.
Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan).
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena amfiboli (amphibolia).


BAB III
BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT

A.  Pengantar
Definisi lain, bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh mackey (1986:12).
Menurut wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Perkembangan bahasanya biasanya terdapat di dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi dapat dilihat pada perkembangan ilmu pengetahuannya juga mengalami pertumbuhan sejajar dengan alatnya yaitu bahasa.Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep-konsep tersebut.

Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat tersebut sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.

Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa inilah yang dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandrian terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangannya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme.

Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa yang digunakan oleh Thomas dalam karyanya Summa Theologiae adalah dengan analogi dan metaphor.

Periode filsafat abad XX perhatian filsuf terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar bahwa dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan analisis bahasa.

Pengaruh linguistik modern yang didasarkan pada pemikiran filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas di berbagai wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri.

Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu . Kekhusukan manusia dalam mensyukuri karunia Sang Maha Kuasa nampanya terusik dengan munculnya kegelisahan manusia akan dirinya. Keakraban manusia dalam menafsirkan suratan Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum Patristik dan Sekolastik terutama sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan munculnya kesadaran manusia akan dirinya sendiri. Demikianlah akhirnbya fmasa kejayaan abad pertengahan memudar ditelan waktu dan munculah masa abad modern yang diawali dengan “ Renaissance”. Secara harfiah kata-kata Renaissm brerarti kelahiran kembali.


B.   Zaman Yunani
Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, terdiri dari kata philos yang berarti cintaatau sahabat dan sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.

1.   Masa Pra Sokrates
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa.(Cassirer, 1987:170). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgmann, 1974:3).

Pertentangan antara ‘Fisei’ dan ‘Nomos’
Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.

Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak.

Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman.

Kaum Sofis
Pada pertengahan abad 5 SM. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Waktu itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpinan Perikles.Demikian juga halnya dengan filsafat.Terdapatlah suatu golongan yang dinamakan Sofistik, sehingga penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal karena ahli di bidang retorika dan  ahli berpidato.

2.  Sokrates
Sokrates yang hidup antara tahun 469-399 SM adalah seorang filsuf Yunani. Ia sangat menaruh perhatian pada manusia dan menginginkan agar manusia itu mampu mengenali dirinya sendiri. Menurutnya, jiwa manusia merupakan asas hidup yang paling dalam.Jadi jiwa merupakan hakikat manusia yang memiliki arti sebagai penentu kehidupan manusia. Berdasarkan pandangannya itu, ia tidak mempunyai niat untuk memaksa orang lain menerima ajaran atau padangan tertentu. Ia justru mengutamakan agar orang lain dapat menyampaikan pandangan mereka sendiri. Untuk itu ia menggunakan metode dialektika, yaitu dengan cara melakukan dialog dengan orang lain, sehingga orang lain dapat mengemukakan atau menjelaskan pandangan atau idenya. Dengan demikian dapat timbul pandangan atau alternatif yang baru.Sokrates tidak meninggalkan tulisan-tulisan tentang pandangannya, namun pandangan Sokrates tadi dikemukakan oleh Plato, salah seorang muridnya.

Akibat kekacauan dan kelicinan kaum Sofis maka Sokrates meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis-kritis ini mengandung suatu pengertian ‘dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) anta ride (Titus, 1984:17).

3.     Plato
Plato (427-347 SM) mengemukakan pandangannya bahwa realitas yang mendasar adalah idea atau idea.Ia percaya bahwa alam yang kita lihat atau alam empiris yang mengalami perubahan itu bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia penglihatan atau dunia persepsi, yakni dunia yang konkret itu hanyalah bayangan dari ide-ide yang bersifat abadi dan imaterial.Plato menyatakan bahwa ada dunia tangkapan inderawi atau dunia nyata, dan dunia ide.Untuk memasuki dunia ide, diperlukan adanya tenaga kejiwaan yang besar dan untuk itu manusia harus meninggalkan kebiasaan hidupnya, mengendalikan nafsu serta senantiasa berbuat kebajikan.Plato menyatakan pula bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga tingkat, yaitu bagian tinggi ialah akal budi, bagian tengah diisi oleh rasa atau keinginan, dan bagian bawah ditempati oleh nafsu.Akal budilah yang dapat digunakan untuk melihat ide serta menertibkan jiwa-jiwa yang ada pada bagian tengah dan bawah.

Plato seorang filosof dari Athena yang menuangkan karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan dikotomi tentang hakikat bahasa ‘fisei’ dan ‘nomos’tertuang dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Plato mengemukakan doktrinnya yang disebut ‘onomatopoeia’ (Cassirer, 1987:171) filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama dengan benda-benda.
[if !supportLists]4.      [endif]Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) pernah menjadi murid Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal.Ia senang melakukan perjalanan keberbagai tempat dan pernah menjadi guru Pangeran Alexander yang kemudian menjadi Raja Alexander Yang Agung. Ia jug mendirikan sebuah sekolah yang disebut Lyceum. Aristoteles merupakan seorang pemikir yang kritis, banyak melakukan penelitian dan mengembangkan pengetahuan pada masa hidupnya.Ia banyak menaruh perhatian pada ilmu kealaman dan kedokteran. Tulisan-tulisannya dapat dikatakan meliputi segala ilmu yang dikenal pada masanya, termasuk ilmu kealaman, masyarakat dan negara, sastra dan kesenian, serta kehidupan manusia.

Aristoteles seorang filsuf dari Stagira yang memiliki karya yang cukup banyak.Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula tentang filsafat bahasa. Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Teori Aristoteles disebut dengan istilah ‘hilemorfisme’ yaitu teori bentuk-materi.


Dikotomi ‘analogi’ dan ‘anomali’
Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’ yang nampaknya berpegang pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan itu terefleksi melalui bahasa.

Kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya tidak teratur (irreguler).Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan itu diperbaiki.



5.   Mazhab Stoa
Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton sekitar menjelang abad keempat SM. Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logika.

Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan rintisan kearah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera, 1983:44-45).

C.    Zaman Romawi
Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani.Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik.

Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali.

Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, walaupun beberapa contohnya kurang tepat.Ia memberikan contoh perubahan bunyi ‘duellum’ menjadi ‘bellum’ = perang.

Pengertian kata                                   
Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa Latin. Yang disebut kata ialah bagian dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum, jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata.Ia menyusun satu sistem  infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut:
Yang berinfleksi kasus --- kata benda (termasuk sifat)
Yang berinfleksi ‘tense’--- kata kerja
Yang berinfleksi kasus dan ‘tense’--- partisipel
Yang tidak berinfleksi --- adverbium

Kasus dan Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa Latin ada 6 kasus.Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal 5 kasus.Kasus yang keenam adalah ablativus.Jadi ada kasus nominativus (bentuk primer, pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), datives (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan) dan ablativus (menyatakan asal, dari).Konsep kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa.

Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi yaitu deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola. Deklinasi voluntaria yaitu satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif dan manasuka.

2. Konsep Priscia
Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kelamaan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah studi ketatabahasaan.Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya.



Fonologi Dan Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf yang disebutnyalitterae.Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan.Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebur potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulate, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulate atau inartikulata. Akan tetapi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis.

Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio.Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.
Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu:
1. Nomen : dalamnya termasuk kata sifat, kata benda yang menunjukkan substansi dan kualitas.
2.Verbum : adalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk menunjukkan ‘tense’, modus, tetapi tidak berinfleksi kasus.
3. Participium : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum.
4. Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan ketiga.
5.  Adverbium : keistimewaan adverbium ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan semantic merupakan atribut verbum.
6.      [endif]Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum.
7.      [endif]Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
8.      [endif]Conjunctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur satu dengan lainnya.

D.    Zaman Abad Pertengahan
Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung berkembangnya ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistaedan konsep bahasa spekulativa.

1. Pemikiran Thomas Aquinas
Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theologiae (ichtisar teologi) (Bertens, 1989:35).  Pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles.

Analisis Bahasa
Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan pemikiran-pemikiran filosofis.Dalam pemikiran filosofis, Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni.
Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis.

Analogi Dan Metafor
Dalam filsafat Thomas doktrin tentang ‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah filosofis sebagaimana dilakukan Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996:124).
Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Adanya dilemma yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karyanya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor.

Mazhab Modistae
Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran hakikat bahasa secara tekum mereka mengembangkan dan nama Mostae muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi’. Dalam konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa.

Konsep Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Tugas dari konsep bahasa spekulativa adalah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihka lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Disimpulkan pula bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan.

Kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang benar dalam zaman itu (Parera, 1983:59).

E.     Zaman Abad Modern
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Akhirnya muncullah masa abad modern yang diawali dengan ‘Renaissance’ berarti kelahiran kembali.Secara historis ‘Renaisance’ adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya lahir kembali.

Perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.

1.   Rene Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia digelar sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu. Namun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisime mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan. 

2. Thomas Hobbes
Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes adalah paham empirisme. Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran empirisme. Thomas Hobbes menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu sistem filsafat materialisme.

Pemikiran filsafat materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode selanjutnya.

3.   John Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal melalui inderawi (Hadiwijono, 1983:36).

Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.

4. George Berkeley
Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam roh saja sehingga pemikiran Berkeley dikenal dengan aliran imaterialisme (Bertens, 1989:52).

Pemikiran Berkeley ini di samping secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga memiliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menurut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.

5.   David Hume
Tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume.Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan.

Pengaruh pemikiran empirisme sangat kuat terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembangkan pengertian hakikat bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas bahasa sebagai suatu realitas empiris.

6.  Immanuel Kant
Kant adalah filsuf Jerman yang berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.

Kritik atas rasio murni
Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme.Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah.Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.

Kritik atas rasio praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi di samping itu juga ‘rasio praktis’ yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategoris).

7.  Positivisme August Comte
Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.

Pemikiran August Comte
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan.Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau zaman ilmiah.

F.   Kesimpulan
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa.
Perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan










































BAB IV
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA


A.    Pengantar

Para filsuf analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filsuf terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.

Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filusuf. 

B.  Filsafat Sebagai Analisis Bahasa
Filsuf Inggris, Bertrand Russell (1872-1970), mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts).

Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu,  bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri.

Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:
Kita menyelidiki pengetahuan itu.
Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.
Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu.

Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.

Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa. Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas.

Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa bahasa merupakan laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pikirannya.

Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda.

Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya Wittgenstein II) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10). Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.

Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis Karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh karena ungkapan filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu memadai dalam berfilsafat jadi sangat penting sekali.

C.  Pengertian Filsafat Bahasa (Analitik) dan Perkembangannya
Filsafat bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa sehari-hari. Kinayati Djojosuroto (2007 : 452) menambahkan bahwa filsafat bahasa merupakan bidang filsafat khusus yang membahas tentang hakikat bahasa, unsur-unsur pembentuk bahasa, hubungan bahasa dengan pikiran manusia, hakikat bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kaitannya dengan kehidupan manusia.
Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.

Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.

Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.

Dijelaskan pula di dalam kamus populer filsafat bahwa filsafat analitik adalah  aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.

Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.
1.   Kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
2.   Teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
3.  Antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
4.   Logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.

Mengenai filsafat analitika bahasa,pada dasarnya perkembangan filsafat ini meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.

Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.

Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang diletakkan sebagai objek kajian filsafat.

Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.

Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.

D. Atomisme Logis
Atomisme logis merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). Bertran Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama.
Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell dan wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara keduanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang pendekatannya antara keduanya terdapat kesamaan yang sangat signifikan.
E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley
Menurut aliran Idealisme bahwa realitasterdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda material dan kekuatan.
Menurut pandangan Bradley, metode kau empiris itu adalah suatu kesalahan. Kaum empiris kurang memperhatikan putusan (judgements) atau proposisi, dan hal inilah yang menjadi sasran kritik kaum idealis, dan dalam kenyataannya hal inilah yang merupakan perbedaan yang paling dalam antara Immanuel Kant dan David Hume.
F.  George Edward Moore
Suatu ketahanan dari ”akal sehat (common sense)” adalah salah satu ide terbesar  Moore. Pada dasarnya, Moore tertarik pada sesuatu yang kita sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa sebagian besar akal sehat (common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa kita tahu apa yang kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan  akal sehat. Kebanyakan ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar dari perdebatan tentang akal sehat. Bagaimanapun, dalam dua hal yaitu bahasa yang biasa dan dalam filsafat, ada beberapa pernyataan yang keduanya dapat dibuktikan, dan Moore memandang seperti yang dia kerjakan bahwa penemuan kebenaran atau kepalsuan dari dalil-dalil termasuk bukan terletak dalam bahasa yang biasa dan filsafat, tetapi ada pada analisis makna dari dalil-dalil. Dengan analisis tersebut, Moore berfikir cara yang dapat memperjelas terhadap pemahaman yang lebih baik terhadap arti kebenaran dan kebenaran dari apa yang kita katakan dan kita tulis.

Illustrasi : kata-kata ”baik”, ”tahu”, ”nyata” .Kita semua tahu arti kata-kata tersebut dalam keseharian dan sesuatu yang diterima akal sehat. Moore percaya bahwa kita telah memiliki suatu konsep tentang ”baik” sudah ada dalam pikiran kita sebelum kita mempergunakannya. , akan tetapi mengetahui maksud (atau memiliki konsep) dan menganalisis makna/ maksud adalah dua hal yang berbeda. Menganalisis suatu makna akan membanu kita memahami secara lebih tepat dan jelas dari makna tersebut , atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya ”kebaikan yang sesuai/ cocok” . 

G.    Filsafat Atomisme Logis Betrand Russel
Menurut Russell untuk memahami atomisme logis kita harus memahami tujuan filsafat terlebih dahulu yang terdiri dari tiga tujuan yaitu:
a.          Filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Menurutnya tugas filsafat yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.
b.         Menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.
c.          Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada dasarnya merupakan titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk mencari pengetahuan yang benar.
Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat mempengaruhi seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme logis.

Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap aktivitas analisis bahasa, termasuk Formulasi Logika Bahasa Dan Prinsip Kesesuaian (Isomorfi). Sebab, ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.

Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang dengan sendirinya akan melahirkan pengetahuan yang baru. Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan sintesis a-posteriori. 
Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis logis daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang universal. Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa Russell hendak menyusun atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan bahasa logika itulah ia melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.

Russell memandang proposisi sebagai suatu simbol-simbol yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan (nama) yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian ini. Hal ini karena struktur bahasa keseharian bisa jadi salah dan ini merupakan salah satu tugas dari bahasanya. Russell meminta teorinya tentang deringkasan merupakan pelaksanaan paradigmatis dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif merupakan simbol-simbol yang tidak sempurna yang kegunaannya tidak bergantung pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah dari bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang logis seseorang bisa mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar sederhana dengan mana dunia dibangun.

H.    Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein
Kata Atom mempunyai arti “benda terkecil, satuan bangunan yang tidak dapat dimusnahkan”(Aristoteles). Kata Atomisme merupakan turunan dari kata Yunani Atomos yang berarti tidak dapat dipenggal, A adalah tidak sedangkan Tomos merupakan sekawanan dari bahasa Yunani Themnein yang artinya memenggal. Atomisme Logis, merupakan suatu faham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi- proposisi elementer, melalui teknik analisa logik atau analisa bahasa. Setiap proposisi atomik atau proposisi elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan keperibadian suatu fakta atomik yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan pandangan yang demikian itu, kaum Atomisme Logis bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas
Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell mengakuinya sebagai murid dari Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara Russell dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.
Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip dengan logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya sama-sama berasumsi bahwa analisis yang logis dari bahasa harus menjelaskan unsur pokok atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein tidak mencurahkan perhatiannya terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita tentang atom sebagai unsur pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan batas-batas bahasa itu sendiri.

Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar realitas yang logis yakni dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap ekstrim yang berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat statemen-statemen yang sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya untuk kebenaran. Jika proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas empirik, maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata nilai, tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah wacana yang signifikan.
1.         Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II
Setelah karyanya Tractatus Logico Philosophicus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan ceramah sehingga beberapa kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya beliau. Ia juga sedang mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua Philosophical Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian pertama buku tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh Wittgenstein, sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang berbeda dan diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees. Kedua murid inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya filsafat yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya filsafat lainnya termasuk Tractatus. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan tanpa memberikan nomor pada setiap paragrafnya.

Karya kedua ini dikembangkan dengan orientasi dasar analisis baru sehingga dalam berbagai uraiannya ia mengkritik beberapa tesis dalam karya pertama terutama yang berkaitan dengan ide utopisnya tentang bahasa ideal yang sarat dengan formulasi logika. Melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein mengembangkan paradigma baru dalam filsafat analitik yang mendasarkan analisis pada ordinary language yaitu dengan menekankan aspek-aspek permainan bahasa (language game). Dalam hal ini, filsafat analitis menyesuaikan diri dengan pandangan yang menekankan bahwa bahasa memiliki keanekaragaman bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia sehingga penggunaan bahasa dikondisikan oleh aturan penggunaannya. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika karya Philosophical Investigations memuat banyak contoh konkret, praktis, riil dan kadang imajiner dengan intensi dasar agar pembaca dapat memahami makna bahasa dalam keanekaragaman bentuk penggunaannya. Dalam karya ini, Wittgenstein menepis adanya bahasa universal yaitu sebuah bahasa yang merangkum segala bahasa berdasarkan aturan-aturan logika. Sebagai gantinya mengembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Karena itu dalam karya ini, Wittgenstein tidak memungkiri bahasa metafisis, teologi dan etika tetapi menegaskan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan salah satu dari ragam bahasa yang khusus: salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.

Dalam bagian ini, penulis ingin menyajikan beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya keduanya ini. Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap karya periode pertamanya.

2.  Permainan Bahasa (language games)
Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori gambar dalam Tractatus Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu. Hal ini diyakini  karena pada suatu kalimat yang sama dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan dalam konteks apa kalimat itu dipergunakan.
Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang menyatakan bahwa setiap penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri. Misalnya, perintah untuk “membawa lima buah papan” berbeda dengan laporan “membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat “membawa lima buah papan” pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang berbeda-beda. Wittgenstein berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa bahkan tak terhitung jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks misalnya melaporkan suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan aneka bentuk permainan bahasa lainnya.
Wittgenstein mengawali deringkasannya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan bahasa merupakan sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak, karena itu Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara lebih luas Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah penampakan dari permainan bahasa.
Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi karena permainan bahasa bersifat spasio-temporal (dikondisikan oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam permainan bahasa tidak ada satu norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap ragam penggunaan walaupun untuk ragam penggunaan yang sama. Misalnya pada ragam bahasa perintah pada dua peristiwa yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa pada permainan bahasa dalam ragam perintah yang satu berbeda dari permainan bahasa dalam ragam perintah yang lain. Perintah pada saat sekarang bisa berarti mubazir pada masa yang akan datang. Perintah pada waktu lampau bisa jadi tidak lagi aktual untuk dilaksanakan pada masa sekarang. Karena itu permainan bahasa itu bersifat unik, dinamis, tidak tetap (mutable) dan sesuai konteks (follow the situations).
Kendatipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa permainan bahasa tidak memiliki karakter normatif. Justru sebaliknya term ”permainan bahasa” merujuk pada aturan-aturan tertentu dalam bahasa yang diacu oleh setiap pengguna bahasa yang berbeda-beda. Wittgenstein mengatakan: ”Suatu permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan. Dalam suatu permainan catur jika sudah ditentukan bahwa ”raja” memegang peranan yang sangat penting, maka ketentuan itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita dapat melanggar  aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Mungkin kita tidak memahami aturan tersebut secara baik sehiingga mengerti salah petunjuk yang menggariskan agar kita berpikir tiga langkah ke depan sebelum menggerakkan setiap buah catur. Jikalau kita menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, kita tentu akan merasa kagum dan memahami maksud dan tujuan suatu aturan. Analogi di atas menunjukkan bahwa dalam berbagai macam permainan bahasa terdapat aturan main tersendiri yang dijadikan pedoman dalam permainan tersebut. Aturan main ini berlaku secara spesifik karena itu tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain karena penerapan aturan main yang satu kepada aturan main yang lain akan menimbulkan kekacauan dalam berbahasa. Misalnya aturan main dalam ragam bahasa santai tidak dapat dimasukkan sebagai ragam yang sah dari penulisan ilmiah. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum berlaku dalam setiap konteks kehidupan. Sebaliknya, bahasa akan memiliki makna jika mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks penggunaannya yang sifatnya beraneka ragam dan tidak terbatas.
Wittgenstein mengatakan bahwa permainan bahasa bersifat unik, berbeda-beda dan tidak tercampurbaurkan tidak dengan sendirinya memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat menjembatani beberapa permainan bahasa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan adanya penggunaan kata atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang berbeda-beda. Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan keluarga (family resemblance). Ia mengatakan: Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk mengungkapkan kesamaan ini selain aneka kemiripan keluarga. Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat pada bentuk, penampakan, warna mata, sikap, temperamennya dan lain sebagainya. Walaupun nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan hal ini sebagai bentuk permainan bahasa dalam sebuah keluarga.  Dalam hal ini penggunaan kata atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki makna yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat umum. Selain itu, dalam ragam bahasa yang sama meskipun memiliki arti yang berbeda dapat dilihat adanya suatu kemiripan yang menjadi pola umum dari ragam bahasa tersebut. Misalnya, pada ragam bahasa berdoa selalu ditutup dengan kata ”amin” atau dalam ragam bahasa doa permohonan ditemui sebuah kemiripan nada memohon meskipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Dalam gagasan permainan bahasa, terdapat beberapa pokok pengertian yang dapat diambil dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut:
Pertama, ada banyak permainan bahasa akan tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa tersebut. Esensi setiap permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan lainnya tergantung pada konteks penggunaannya. Namun demikian di antara permainan-permainan ini dikenal adanya suatu kemiripan.
Kedua, karena permainan bahasa ini tidak memiliki satu hakikat yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan batas-batas permainan dengan secara tepat mengenai permainan tersebut. Kita hanya dapat mengetahui kemiripan bukannya kesamaan dari berbagai permainan bahasa karena batas-batasnya.
Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis sebuah permainan bahasa, namun dapat diketahui apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan itu. Permainan memang sebuah konsep yang sangat halus dan sulit untuk didefinisikan, sehingga sulit untuk dijelaskan dengan tuntas tentang permainan tersebut. Mengingat hal tersebut maka yang dapat dilakukan adalah memberikan deringkasan atau contoh-contoh.  Dengan deringkasan dan contoh-contoh tersebut akan membantu dalam pemaknaan suatu bahasa.

3. Kritik terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.
Pertama, peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku sesuai disiplinnya,maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa. Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada.“Pemahaman” (atau “mengerti”) harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti” cara berada manusia sendiri.[20] Itulah sebabnya makna sebuah kata atau bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri; kata-kata selalu mengandung makna yang penuh, dan merupakan makna utuh bagi yang membangunnya.Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.

I.    Kesimpulan
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke-20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan k  nnebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis)

BAB V
HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA

Konsep Dasar Hermeneutika
Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya, diperlukan konsep kuno yang bernama “kata batin” – inner word.

Hermenetika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneutine dan  hermeneia yang masing – masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”.  Istilah  did dapat dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Hermeneutica juga bermuatan pandangan hidup dari penggagasnya.

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.

Tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu :
1.         Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian.
2.         Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar- samar sehingga maknanya dapat dimengerti
3.         Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain.

Tiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian ”menafsirkan” – interpreting, understanding.
Dengan demikian hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan.

Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.

Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegegis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudia berkembang menjadi filsafat penafsiran.

Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal  sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran yakni teks, konteks dan kontekstualisasi.

Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai hermeneutika yakni :
[if !supportLists]1.      [endif]Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami.
[if !supportLists]2.      [endif]Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.
[if !supportLists]3.      [endif]Sebagai penafsiran fisafat.

[if !supportLists]B.     [endif]Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek.
Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti.  Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi”Sensus non est inferendus sed efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Penagalam masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

C.    Bahasa Sebagai Pusat Kajian
Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat.
Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding.
Menurut folosof bahasa Wittgenstein “ Batas bahasaku adalah batas duniaku”. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disusl bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur.

D.    Hermeneutika Dalam Pandangan Filosofi

Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutka.

Hermeneutika adalah sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengani konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma.

Makna bukan sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkakan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat.

Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi histories, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan.

Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.

Model hermeneutika Schleiermacher meliputi dua hal :
Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan linguistic.
Penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin pengarang.

Dengan demikian, terdapat makna autentik dari sebuah teks, sebua teks tidak mungkin bertujuan  (telos).

Wilhelm Dilthey
Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah.

Martin Heidgger
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua periode sebagai berikut :
Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk  yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
Periode 2 Menjelaskan pengertian”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli. Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah pengauasa atas apa yang ”ada” melainkan sebagai penjaga padanya.

Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah”bahasa hakikat” artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka.  Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal ” sang ada”.  Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam substansi dan pengaaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan.
Pemahaman teks terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa.
Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika, atau suatu gerakan.
[if !supportLists]4.      [endif]Hans-Georg Gadamer
Konsep Gadamer yang menonjol dalam hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran hermeneutika – hermeneutic circle , bagian teks disa dipahami lewat keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian- bagiannya.
Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomologi pemahaman.
[if !supportLists]5.      [endif]Jurgen Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses pemahaman – understanding the process of understanding.
Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pnegertian teoritis berpadu menjadi satu.
Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.
[if !supportLists]6.      [endif]Paul Ricoeur
Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut :
[if !supportLists]ü  [endif]Intensi atau maksud pengarang.
[if !supportLists]ü  [endif]Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
[if !supportLists]ü  [endif]Untuk siapa teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupub orang lain.
Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpreter” telah berbaur menjadi satu.
[if !supportLists]7.      [endif]Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa dalam kaitan dengan hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer.  Bahasa menurut kodartnya adalah ”tulis”Objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.

E.  Beberapa Kaidah Hermeneutika
Dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi
Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsi.
Upaya penafsiran harus dilihat sebagao proses pendekatan – approximation kepada makna sejati.
Walaupun ada wilayah perbedaan karena partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang mempertemukan atar penafsir, pamahaman bersama – shared understanding, mutual understanding yang melahirkan cross cutting affiiation.

Peran Hermeneutika Terhadap Martabat Manusia
Manusia selain sebagai makhluk yang berpikir – hayawan al-natiq, hewan yang berpikir, disebut juga sebagai animalsymbolicum, makhluk yang senantiasa bergulat dengan simbol.
Hermeneutika memilki tanggungjawab utama dalam menyingkap dan menampilkan makna yang ada di balik simbol-simbol yang menjadi objeknya.
Filsafat hermeneutika berkembang dengan dua aliran pemikiran yang berlawanan yakni pragmatika intensionalisme dan hermeneutika gadamerian.
Intensionalisme memandang bahwa makna sudah ada karena dibawa oleh penyusun teks-pengarang sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir dan makna berada di beakang teks-behind the teks.
Hermeneutika gadamerian memandang bahwa makna harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh penafsir itu sendiri sesuai konteksnya, sehingga makna berada di depan teks – in front of the text.                  
G.    Beberapa Varian Hermeneutika
Hermeunitka Romantis
Dengan tokoh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, bapak hermeneutka
Makna hermeuneutika berubah dari sekedar kajian teleologis – teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi.
Dua teori pemahaman pertama pemahaman ketatabahasaan – grammayical understanding, terhadap semua ekspresi, kedua pemahaman psikologis terhadap pengarang – dikembangkan menjadi intuitive understanding yang operasionalisasi merupakan rekonstruksi – merekonstruksi pikiran pengarang.
Tujuan pemahaman lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkonstruksi.
Tidak hanya melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tetapi juga pemahaman terhadap subjektivitas pengarang.
Ada lima unsur dalam pemahaman penafsir, teks, ,aksud pengarang, konteks historis dan konteks kultural.Hasil interpretasi akan lebih baik jika penafsir mengatahui latar belakang sejarah pengarang teks.

 Interpretasi
Interpretasi adaah proses memperantarai dan menyampaikan pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas. Interpretator  ádalah jurubahasa, penerjemah pesan realitas, pesan yang tidak segera jelas, tidak segera dapat diartikulasikan, yang sering diliputi misteri, yang dapat diungkap hanya sekelumit demi sekelumit, tahap demi tahap.
Proses memperantarai dan menyampaikan pesan agar dapat dipahami mencakup tiga arti yang terungkap di dalam tiga kata Kerja yang saling berkaitan satu  dengan yang lain

Interpretasi adalah mengkatakan
Interpretasi berfungsi menunjuk arti, mengkatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak, membukakan sesuatu yang merupakan pesan realitas.
Metode yang digunakan adalah yang memungkinkan realitas memberita, mengkatakan dirinya, jauh dari segala distorsi dan disonansi.
Ukuran kebenaran interpretasi adalah manakala interpretasi bertumbuh, berasuh pada evidensi-evidensi objektif, pada hal-hal yang memang sesungguhnya dapat diidentifikasi merupakan kata realitas, terbukti dapat dikenali terdapat di dalam realitas itu sendiri.
Dengan demikian berpikir yang benar-benar berpikir dan semua serta setaip berpikir adalah interperatsi, bukanlah monolog, melainkan dialog. Dan dialog adalah proses, maka kejernihan pandangan yang dicapai, kebenaran yang diperoleh, pesan realitas yang terartikulasikan, memberitakan realitas tidak seketika fina, tidakseketika habis selesai, tetapi juga sesuatu proses. Maka interpretasi bercirikan senantiasa siap dikoreksi lagi dan lagi dikoreksi dan senantiasa merukuskan kembali segalanya yang memang harus dirumuskan kembali.
[if !supportLists]2.      [endif]Interpretasi sebagai menerangkan.
Dimensi ”menerangkan” dari interpretasi adalah sesuatu dibuat terang. Kegiatan interpretasi dilaksanakan dengan memasukkan faktor luar, seperti misalnya menunjuk arti teks yang lebih tua, menunjuk peristiwa yang de facto meliputi, menggelimangi bukan sekedar melatarbelakangi teks.
Hal ini tidak berarti bahwa suatu teks senantiasa dijelaskan lewat data diluar teks. Data dari luar hanya relevan manakala dan sejauh pengaruh data tersebut dikenali sebagai terdapat dalam teks. Pengetahuan tentang data dapat membantu memahami teks secara lebih baik.
Dimensi interpretasi ini menunjukkan bahwa arti adalah masalah konteks. Karenanya, seluruh kegiatan ditujukan untuk menyediakan ruang pemahaman. Teks tidak begitu saja dpat dipahami, dibutuhkan siatuasi pemahaman agar dua cakrawala bertemu, yakni bilamana interpretator dapat melangkah masuk ke dalam lingkaran interpretasi dan cakrawala teks yang ada.

Interpretasi sebagai menerjemahkan
Di dalam bahasa Jerman dipakai istilah Ubersetzen yang berarti menyebrangi sungai dari tepi satu ke tepi yang lain dengan ferry. Tugas interpretasi sebagai ”memindahkan” arti seperti memindahkan arti teks kuno ke dalam kehidupan manusia modern sehingga yang terlihat bukan lagi comedia errorum atau macam-macam hal yang tidak cocok bagi telinga sezaman.  Dua cakrawala berhadapan.  Menerjemahkan bukan sekedar mengganti yang ada, tanpa menangkap inti isinya, pesan yang disampaikan. Sedangkan menangkap pesan adalah masalah memasuki cakrawala, fusi cakrawala.

Kesimpulan
Hermeneutik adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
Dalam sejarahnya, konsep hermeneutika pertama kali ditemukan pada zaman yunani kuno. hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione, Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus, Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Baru pada 300 SM, Stoicisme kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
3.      [endif]Pokok-pokok pemikiran Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
Hermeneutika adalah seni pemahaman komunikasi verbal - sebagai kontras, tidak disamakan, dengan memberi penjelasan, menerapkan, atau menerjemahkannya.
Hermeneutika harus menjadi disiplin universal - satu yaitu yang berlaku sama untuk semua bidang subyek-(misalnya hukum, Alkitab, dan sastra), untuk lisan serta bahasa tulis, untuk teks modern serta kuno, untuk karya dalam bahasa sendiri serta karya-karya dalam bahasa asing, dan sebagainya.
Secara khusus, interpretasi dari teks-teks suci seperti Alkitab termasuk di dalamnya - ini tidak dapat mengandalkan pada prinsip-prinsip khusus, seperti inspirasi ilahi (baik penulis atau penerjemah).
penafsiran yang tepat dari teks dimulai, penafsir harus mendapatkan pengetahuan yang baik tentang konteks historis teks itu.

Pokok-pokok pemikiran M. Heidegger ialah Fenomenologi Sebagai Hermeneutik, Hakikat Pemahaman, Dunia dan Hubungan kita dengan Obyek di Dunia, Kebermaknaan Pra-Predikatif, Pemahaman, dan Interpretasi, dan Kemustahilan ketiadaan Pra-asumsi Interpretasi. Sedangkan Pokok-Pokok Hermeneutika Gadamer, estetika, historikalitas pemahaman, dan menganalisis bahasa. Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini pada akhirnya dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik.

Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa pada awalnya hermeneutika sebagai teori memahami tekstulis atau kitab suci, kemudian mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal ini mereka maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu-ilmu sosial atas hegemoni paradigmapositivisme.
Hermenetika berasal dari kata Yunani : hermeneuein artinya “tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate).
            Dalam perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan salah satunya sebagai pendekatan dalam ilmu-lmu sosial. Dengan demikian pembahasan hermeneutika pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang untuk memahami realitas, terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
            Sebuah dikotomi yang berupa metod eerklaren dan metode verstehen. Metode erklaren adalah metode khas positivistik  yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa ‘perilaku’ alam menurut hukum sebab – akibat, sedangkan metode verstehen yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan – tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial.
            Salah satu Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.
            Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks.












































BAB VI
HAKIKAT BAHASA SEBAGAI DASAR FILSAFAT
TEORI BAHASA


[if !supportLists]A.    [endif]Bahasa Sebagai Substansi
Problema filosofis tentang hakikat bahasa telah muncul sejak zaman Yunani, yaitu dengan munculnya pandangan dikotomis antara fisei dan nomos. Kaum fisei berpandangan bahwa hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki hubungan dengan asal usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi. Sehingga dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologis tidak dibentuk oleh manusia namun ditentukan oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah. Kaum nomos atau yang dikenal dengan kaum konfensionalis menyatakan bahwa hakikat bahasa adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat. Maka secara ontologis substansi bahasa itu ada karena diciptakan oleh masyarakat atau ditentukan oleh tradisi dalam masyarakat.
Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang bersifat bunyi ujaran, sehingga dapat diindra manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini harus dibedakan antara: (1) Substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kualitasnya berupa sistem bunyi, tanda maupun lambang-lambang. Maka sistem fonem yang mengacu pada sesuatu adalah merupakan substansi bahasa dalam pengertian yang pertama ini. Substansi bahasa dalam pengertian ini sebagai dasar pengembangan di bidang fonologi. (2) Substansi bahasa yang merupakan acuan dari bahasa, atau suatu substasi bahasa yang merupakan petanda I yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Untuk mempermudah pemahaman hakikat substansi bahasa pada linguistic modern, maka perlu dipahami konsep hakikat struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure.
Bahasa menurut Saussure pada intinya merupakan suatu sistem tanda. Tanda-tanda itu tidak langsung mengacu pada sekian banyak benda dalam realitas. Makna tidak ditentukan oleh hakikat benda yang diacu, tapi oleh perbedaan di antara satuan penanda dan petanda dengan sesamanya. Tanda adalah gabungan dari dua unsur, suatu unsur material, yaitu bunyi tertentu dalam bahasa lisan, coretan grafis dalam bahasa tulis, dan suatu unsur mental, yaitu konsep. Kedua unsur itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan antar unsur-unsur itu berada dalam aturan tertentu. Karena itu penutur harus tunduk pada aturan itu. Aturan yang menentukan hubungan antara berbagai unsur bahasa tidak mempunyai kaitan langsung dengan hubungan yang terdapat antara benda-benda dalam realitas.
Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure bercirikan adanya hubungan yang erat antara significant, yaitu gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya, signifie, yaitu gambaran makna secraa abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar, form, yaitu kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir-butir abstraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi, serta substance, yaitu perwujudan bunyi ujaran khas manusia. Substansi bahasa dalam pengertian pertama, adalah berkaitan dengan substance,  yaitu merupakan perwujudan bunyi ujaran khas manusia dan dalam pengembangan teori-teori bahasa dibahas dalam bidang fonologi, yaitu membahas sistem bunyi ujaran dalam bahasa.

[if !supportLists]1.      [endif]Substansi – Ekspresi
Unsur-unsur substansi – ekspresi sebagai aspek kuantitas bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia dan merupakan ekspresi pikiran, perasaan serta emosi manusia.
Dasar-dasar inilah yang merupakan sumber epistemologis pengembangan ilmu bahasa terutama dalam bidang teori bunyi bahasa yaitu bidang fonologi. Bahkan pada tingkatan tertentu meletakkan substansi sistem tanda bahasa ini sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, sehingga banyak teori bahasa yang mengembangkan bahasa berdasarkan pada teori fonetik. Teori ini menganggap bahwa bahasa timbul baik ditinjau dari segala gejala fisik yang berkaitan dengan fonetik akustik. Demikian juga substansi- ekspresi ini juga ditinjau dari aspek fisiologi, yaitu bagaimana terjadinya bunyi ujaran atau sering disebut fonetik artikulasi.
Beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa bunyi dari suatu ungkapan atau ekspresi adalah merupakan dasar suatu bahasa, sehingga mereka membuat suatu deskripsi yang mendalam tentang sistem bunyi tersebut. Hakitat bahasa sebagai substansi ekspresi pada intinya bahwa substansi bahasa berupa sistem bunyi yang merupakan dasar ontologis utama bagi deskripsi bahasa.

Substansi – Isi
Teori-teori bahasa modern tentang bahasa lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Kata yang merupakan bagian terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsure sistem tanda. Kata adalah penanda suatu realitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu sendiri, atau menurut istilah Saussure harus dibedakan antara signifiant sebagai ekspresi lewat sistem lambang dengan signifie  yang merupakan aspek semantik lambang yang berkaitan dengan sesuatu acuan baik berupa benda, binatang, manusia, nilai maupun konsep. Sistem relasional antara aspek substansi bahasa tersebut yang merupakan substansi-isi. Oleh karena itu teori bahasa modern membedakan kedua aspek tersebut dalam sistem lambang bahasa.
Berlawanan dengan konsep bahasa modern, menurut paham tradisionalisme, secara ontologis hakikat bahasa bukanlah substansi-isi, melainkan isi-substansi. Menurut paham tradisionalisme bahwa secara ontologism pikiran menentukan sistem lambang bahasa, sehingga menurut tradisionalisme kata-kata memiliki kesepadanan dengan pikiran. Makna kata-kata atau ungkapan bahasa pada hakikatnya berasal dari konsep mental manusia yang menyeluruh, sehingga sistem bahasa ditentukan oleh sistem kaidah pikiran. Sehingga sistem ilmu bahasa logis mendasarkan pada analisis bahasa yang menekankan pasa isi-substansi. Akibatnya deskripsi sistem bunyi ujaran bahasa tidak didasarkan pada struktur sistem bunyi ujaran secara empiris melainkan merupakan suatu pemaparan ejaan bahasa sehingga tidak mendasarkan pada analisis bahasa secara empiris.

Bahasa Sebagai Bentuk
Teori-teori kebahasaan ynag terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa bukanlah merupakan suatu substansi  sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Demikian juga bahasa bukan merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui bunyi ujaran bahasa. Pemikiran ini dikembangkan oleh paham strukturalisme yang ekstrem antara lain strukturalisme bahasa yang berkembang di Amerika di bawah Bloomfield yang sebenarnya keduanya berakar pada konsep pemikiran Ferdinand de Saussure. Pengertian bahasa sebagai bentuk meliputi tiga hal yaitu:

Bentuk-Isi
Konsep pemikiran ini mendasarkan pada suatu pengertian bahwa bahasa adalah sebagai bentuk simbiolis yang bediri sendiri. Bahasa menurut paham ini dianggap semata-mata sebagai hasil penyusunan pikiran manusia. Menurut paham ini bahasa dipandangnya sebagai bentuk mental yang berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-bentuk simbiolis yang lainnya seperti insting dan pikiran ilmiah.
Teori ini memang lebih menekankan pada bentuk mental dan bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti empiris yang dapat disentuh dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih menekankan pada keterpisahan bentuk mental bahasa dari aspek-aspek lainnya. Oleh karena secara ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh hakikat bahasa sebagai bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang berupa bunyi ujaran bahasa ditentukan oleh bentuk mental bahasa. Konsekuensinya struktur empiris bahasa yang berupa eksistensi bunyi ujaran bahasa yang tidak mendapat tempat, sehingga pengembangan pada teori-teori bahasa akan menghadapi kesulitan besar yaitu substansi empiris bahasa sulit dikembangkan secara sistematis. Pemikiran bahasa seperti ini sangat lemah dalam menentukan dasar epistemology teori bahasa sehingga analisis bahasa juga akan menghadapi kesulitan dalam menentukan kebenaran sebagai dasar pijak teori bahasa.

 [endif]Bentuk-Ekspresi
Hakikat bahasa yang menekankan pada segi bentuk-ekspresi ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut strukturialisme yang radikal, dalam arti mereka ingin membangun bahasa di atas substansi yang bersifat empiris. Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa secara ontologis berdasarkan realitas empiris dari bahasa, terutama berkaitan dengan struktur empiris bahasa yang merupakan sistem menyeluruh dan dapat berdiri sendiri.
Teori bahasa mendahulukan analisis struktural empiris sebagai dasar epistemologis ilmu bahasa. Bahasa harus dapat dinyatakan secara sistematis dan empiris untuk menemukan suatu kebenaran yang objektif. Oleh karena bahasa secara struktural harus dapat dinyatakan secara fisik maka analisis bunyi-bunyi ujaran bahasa menempati prioritas utama, karena bunyi-bunyi bahasa merupakan fenomena yang dapat diamati secara langsung. Bahasa pada hakikatnya terdiri atas urutan-urutan morfem yang juga terdiri atas urutan fonem. Menurut Bloomfield fonem-fonem itu dapat didefinisikan secara fisik.

Kaum strukturalis terutama Bloomfield dalam mengembangkan teorinya ia menyingkirkan unsur pikiran, mental, benda, maupun nilai dari hakikat realitas bahasa. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa bahasa tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah ilmu jiwa, fisiologi maupun aksiologi. Bahasa pada hakikatnya adalah bentuk-isi, hal ini berarti bahwa realitas bahasa adalah struktur empiris yang dapat diamati oleh indra manusia, baru struktur menentukan makna bahasa yang merupakan ekspresi. Arti menurut kaum strukturalis tidak dapat dianalisis lewat linguistik, karena totalitas ujaran yang mengandung makna haruslah merupakan suatu kebenaran yang mempunyai pengertian (makna), adapun kebenaran digunakan dalam arti pragmatis. Kaum strukturalis melakukan analisis bahasa berdasarkan strukturnya (bentuknya) dan bukan berdasarkan arti.

Isi dan Ekspresi
Sejumlah teori bahasa yang lebih lengkap tidak membatasi ruangnya pada masalah ekspresi atau isi, melainkan meliputi keduanya. Teori tersebut mengetengahkan hubungan yan erat antara ekspresi bahasa dengan apa yang dimaksudkan dengan ekspresi tersebut.
Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan isi dan ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pandangan ontologis tersebut berakar pada linguistik struktural Saussure.
Dalam konsep linguistik ini Saussure membedakan atas koda atau sistem (langue)dari pemakaian dalam pembicaraan (parole). Menurut Saussure objek linguistik ialah studi tentang koda (langue) yang sesungguhnya merupakan aspek yang meliputi ‘yang ditandai’(signified) dan ‘penanda’ atau (signifier),  dan bukan substansinya. Bentuk pikiran dan bentuk bunyi tidak berhubungan dengan linguistik. Bahasa tidak terdiri atas ide ataupun bunyi, melainkan perbedaan-perbedaan konsep dan suara. Substansi isi dan substansi ekspresi betul-betul bersifat arbitrer, demikian juga hubungan antara keadaan yang sesungguhnya atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan syarat-syarat atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut.
Suatu kekhususan pada teori Saussure adalah peleburan dari konsep linguistik ‘yang ditandai’ (signified) dengan bayangan akustik dari bunyi yaitu ‘penanda’ (signifier). ‘Signified’ tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh bahasa dari peristiwa-peristiwa tentang keadaan yang sesungguhnya.

Sebagai Substansi dan Bentuk
Sejumlah aliran dalam filsafat bahasa mengemukakan pandangan- pandangan ontologisnya tentang hakikat bahasa. Cassier misalnya menyatakan bahwa manusia adalah mahluk simbolis, mahluk yang senantiasa menggunakan simbol-simbol, maka  ia tiba pada suatu pandangan ontologisnya bahwa bahasa pada hakikatya adalah merupakan bentuk simbol-simbol saja. Bahasa merupakan hasil penyusunan  pikiran manusia. Bahasa adalah  merupakan suatu bentuk mental yang berdiri sendiri terpisah dari bentuk simbol-simbol yang lain sehingga secara ontologis bukan merupakan substansi empiris. Dengan demikian pandang filosofis semacam ini tidak memberikan tempat lagi hakikat empiris bahasa yang berupa system bunyi ujaran yang dapat di serap dengan indra manusia.
Berbeda dengan pandangan Filosofis Cassier para tokoh paham strukturalisme radikal justru memiliki pendapat  berlawanan, sebagai mana yang dikembangkan oleh Bloomfield dan para penganutnya yang setia, Bloomfield berpendapat bahwa hakikat bahasa secara ontologis adalah merupakan realitas empiris, bahasa adalah merupakan suatu sistem yang bersifat  empiris. Kaum srukturalisme ini tidak mengakui  realitas metafisis bahasa. Makna adalah ditentukan oleh struktur empiris bahasa. Makna yang berhubungan dengan realitas di luar bahasa seperti benda-benda, alam semesta, konsep-konsep  maupun nilai adalah berada di luar struktur empiris bahasa, Secara epistemologis hakikat makna yang menyangkut realitas dunia yang berada diluar realitas struktur bahasa, adalah merupakan bidang kajian ilmu-ilmu pengetahuan yang lainya dan tidak memiliki sangkut paut  dengan ilmu bahasa.
Pandangan filsafat yang lain di bidang bahasa memiliki konsep yang berbeda dengan kedua paham tersebut di atas. Bahasa pada hakekatnya adalah merupakan suatu substansi, baik substansi yang bersifat empiris misalnya bahasa pada hakikatnya atas tersusun atas sesuatu yang dapat di indra. Dalam pengertian ini subtansi bahasa berkaitan dengan dua aspek yaitu substansi benda-benda atau realitas dunia empiris dan substansi system lambang yang digunakan untuk mengungkapkan bahasa, yaitu suara yag kita ucapkan atau lambang-lambang yang kita gunakan.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut maka terdapat dua kelompok paham yang secara filosofis berbeda  yaitu hakikat bahasa yang hanya di pandang sebagai bentuk atau struktur saja. Kedua pandangan tersebut dengan sendirinya memiliki konsekuensi epistemologi yang berbeda pula, dan pada gilirannya sistem analisis dan dasar kebenaran dalam ilmu bahasa juga akan berbeda, sesuai dengan pandangan ontologis masing-masing.
Sementara terdapat dua kelompok paham dalam filsafat bahasa yang memiliki pandangan ontologis yang berlawanan terdapat jumlah teori yang mendasarkan pada teori ontologis yang merupakan sintesa antara substansi dan bentuk. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal itu dapat dianalisis dalam tiga aspek substansi dan bentuk bahasa yaitu: (1) Substansi bahasa yaitu berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut tentang benda dan pengalaman tentang benda- benda tersebut, serta pikiran- pikiran dari penutur bahasa. (2) Substansi ekspresi bahasa, yaitu bunyi yang kita gunakan untuk membicarakan pikiran-pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan yaitu benda- benda tersebut. (3) Substansi isi dan ekspresi , yaitu apa yang dibicarakan dan alat- alat yang digunakan untuk membicarakan tersebut.
[if !supportLists]1.      [endif]Bahasa sebagai Substansi Isi
Terdapat teori-teori bahasa yang mendasarkan pemikirannya bahwa bahasa adalah menyangkut isi, yaitu realitas yang menyangkut segala sesuatu yang dapat dibicarakan, alam, benda-benda, dan segala sesuatu serta pengalaman kita tentang realitas tersebut. Bahasa sebagai isi juga menyangkut tentang bagaimanakah tentang pembentukan pola penyusunan arti tersebut, yaitu bagaimanakah hal-hal yang menyangkut realitas dan ide-ide yang dibicarakan manusia dirangkaikan dengan kesatuan arti sehingga pendengar dapat memahami arti yang dimaksud penuturnya.
[if !supportLists]2.      [endif]Bahasa sebagai Ekspresi
Dalam filsafat bahasa terdapat suatu paham yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya merupakan suatu alat pengungkapan (ekspresi), yang tersusun dari substansi ekspresi dan penyusunannya. Bahasa juga merupakan suatu hubungan antara beratus-ratus bunyi yang kita hasilkan pada waktu kita berbicara dan bunyi-bunyi lain yang tepilih dan dikelompokkan oleh bahasa.
[if !supportLists]3.      [endif]Bahasa sebagai Isi dan Ekspresi
Terdapat juga suatu teori yang mendasarkan pada suatu pemikiran filsafat bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai isi dan ekspresi. Sebagai isi yang menyangkut segala sesuatu yang menjadi acuan dan pengalaman tentang acuan bahasa serta formulasinya dalam unit-unit bahasa. Sebagai ekspresi yang menyangkut media fisik bahasa yaitu berupa bunyi dan formulasi media bunyi ke dalam unit-unit ekspresi, misalnya fonem. Hal itu dapat meliputi tiga

Kesimpulan
Dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologis tidak dibentuk oleh manusia namun ditentukan oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah.
Hakikat bahasa bukanlah merupakan suatu substansi  sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Demikian juga bahasa bukan merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui bunyi ujaran  bahasa.
Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal itu dapat dianalisis dalam tiga aspek substansi dan bentuk bahasa yaitu, substansi bahasa, substansi ekspresi bahasa, substansi isi dan ekspresi.

















BAB VII
PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT
POST MODERENISME

LOGOSENTRISME
Setidaknya ada empat fase perkembangan filsafat, sejak dari perkembangan pertama hingga kini. Ke-empat fase itu adalah :

Kosmosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
Teosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
Antroposentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filosofis, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
Logosentris, yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat, hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang disebut pasca modern atau postmodern.

Pembahasan ini lebih mengerucut era logosentris. Jika pada era antroposentris, manusia memproklamirkan kekuatannya lewat rasio Cartesian dan eksistensialismenya, maka pada era logosentrisme, filsuf-filsuf postmodernisme justru memaklumkan kematian manusia sebagai subjek. Hal ini dikarenakan pada zaman postmodernisme manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek bahasa,  subjek pemikiran, subjek tindakan, dan pusat sejarah bahkan manusia tidak dipandang sebagai pusat pemaknaan realitas.
Adapun dalam perkembangan Logosentrime ada dua visi yang berkembang yaitu :
1.      Visi Phenomenologik
Dalam visi phenomenologik, pusat obyek wacana atau discourses ilmu pada logosentrisme adalah tanda. Tanda pada first order of logic adalah matematika, adapun tanda pada second order of logic adalah bahasa.
2.         Visi Kebahasaan
Melacak logosentrisme adalah melacak perkembangan dari strukturalisme phenomenologik dan akhirnya menjadi postsrtukturalisme Derrida. Setelah dikenal strukturalisme sosial phenomenologik, maka studi bahasa atau karya sastra tersebut dikenal  sebagai studi hermeneutik, studi tentang metoda dan prinsip untuk memahami metoda.

Strukturalisme linguistik
Strukturalisme de Saussure adalah strukturalisme positivistik. Setelah strukturalisme de Saussure lahirlah ilmu hermeneutik atau ilmu tentang penafsiran seputar logos atau seputar  struktur dan sistem bahasa. Bahasa menjadi alat untuk mengekspresikan fikiran dan perasaan manusia.  

[if !supportLists]b.      [endif]Hermeneutik Ontologik
Di tangan Ricouer dan Gadamer hermeneutik berkembang menjadi pandangan filosofik. Sebagai pandangan filosofik, hermeneutik dipermasalahkan oleh para phenomenolog. Menurut Ricouer : hermeneutik adalah ilmu interpretasi terhadap interpretasi. Interpretasi tahap          pertama adalah interpretasi penulis terhadap logos atau struktur bahasa dan sistem bahasa guna mengekspresikan pengalamannya, dan interpretasi tahap kedua adalah interpretasi pembaca teks atas interpretasi penulis pada pengalamannya.

c.       Menarik sebagai subyek dan obyek
Dengan logosentrisme manusia kehilangan dirinya sebagai subyek. Dengan strukturalisme de Saussure manusia tidak lagi menjadi subyek bahasa, bukan subyek berfikir,   dan bukan subyek tindakan melainkan menjadi yang dibicarakan, yaitu yang dibicarakan sesuai    dengan struktur bahasa, struktur sistem sosial-ekonomi. Manusia bukan lagi pencipta struktur dan mengendalikan sistem, melainkan obyek yang dikendalikan oleh struktur dan sistem.
               Agar manusia tidak lagi menjadi obyek yang dibicarakan sesuai kaidah struktur dan sistem bahasa, maka karya sastra seseorang harus dibaca sesuai teksnya, jangan membawa prakonsepsi tertentu, demikian Derrida.

POSTMODERNISME

Pengertian Postmodernism
Istilah postmodern dipakai pertama kali oleh Frederico de Oniz pada tahun 1934 dalam konsep yang jauh berbeda dengan konsep yang berkembang sekarang. Postmodernisme menurut de Oniz hanyalah periode peralihan (dalm sastra) dari modernisme awal ke modernisme dengan kualitas lebih tinggi.
Arnold Toynbee pada tahun 1947 menggunakan kata postmodern sebagai ciri peralihan politik dari pola pemikiran negara nasional ke interaksi global. Politik budaya Bhineka Tunggal Ika atau unity in diversity menurut penilaian penulis merupakan konsep yang valid bagi postmodernisme, karena salah satu ciri utama postmodernisme adalah pengakuan pluralisme budaya. Barulah pada tahun 1970-an postmodernisme sebagai filsafat ditampilkan oleh Loytard dalam suatu seminar diantara para ahli filsafat.
Sebelum mendefinisikan posmodernisme, pemahaman tentang modernisme juga diperlukan dan dimungkinkan untuk mengukur posmodernisme. Dalam arti umum Oxford English Dictionary mendefinisikan istilah modernisme sebagai : pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah keyakinan agama agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan.
Postmodernisme Menurut Lyotard  mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua narasi besar yang cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu pengetahuan. Menurut Antoni Giddens, postmodernisme adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai postmodernita. postmodernisme adalah "fenomena budaya dan intelektual".
Menurut Michael Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Menurut Habermas postmodernisme itu sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan. Menurut Pauline Rosenau mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.


Latar Belakang Munculnya Postmodernisme
Postmodernisme telah muncul sebagai konsep dalam arsitektur pada akhir 1940-an, dan dalam sastra muncul pada tahun 1960-an. Tetapi digunakan sebagai konsep umum baru muncul setelah konsep poststrukturalis muncul. Konsep keduanya adalah menentang teori stabilitas satuan, menentang satunya makna, menentang ugeran sentral dalam pemaknaan sesuai tradisi, menentang otonomi karya aestethik. Jean-Francois Lyotard menampilkan konsep sikap postmodern sebagai sikap tidak mau percaya (Incredulity) terhadap metanarasi, terhadap pandangan monolitik. Mereka bukan pesimistik, tetapi mereka melihat bahwa segala sesuatu itu berkembang, sehingga mengapa mesti memberi makna yang begitu terus.
Gejala postmodernisme itu muncul dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan seni sastra, arsitektur, ilmu fisika, ilmu sosial, filsafat, maupun bidang-bidang lainnya. Munculnya postmodernisme  dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni dan filsafat selain berkembang di Amerika juga di Eropa terutama di Perancis. Dalam bidang filsafat berkembangnya paham postmodernisme, tidak dapat dipisahkn dengan berkembangnya strukturalisme dan poststrukturalisme yang memiliki perhatian yang besar terhadap analisis bahasa.
Perkembangan paham pemikiran yang demikian ini diistilahkan oleh Best Kellner denganPostmodern turn (pembalikan kearah postmodern) (Best Kellner, 1991 : 24). Sumber perhatian utama pemikiran postmodernisme dalam bidang filsafat adalah pada bahasa. Hal ini sebagaimana kita lihat di Perancis misalnya Derrida mengembangkan pemikirannya bertolak dari konsep strukturalisme bahasa Ferdinand de Saussure, adapun Lotyard beranjak dari konseplanguage game Ludwig Wittgeinstein (Awuy, 1995 :162). Gadamer mendasarkan pada prinsip hermeneutikanya, yang dikatakannya bahwa berbicara tentang bahasa adalah sebagai fungsi aktualisasi diri, sedangkan Habermas berbicara tentang bahasa sebagai sarana integrasi sosial antara berbagai subjek komunikasi dan sarana sosialisasi kebutuhan dan kepentingan yang melatarbelakangi komunikasi itu. (Sugiharto, 1996 : 63), serta berbagai tokoh lainnya dimana pemikiran ini berkembang di Jerman.
Postmodernisme yang merambah ke berbagai bidang kehidupan tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang dengan ditandai oleh rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung oleh sains dan teknologi mengakibatkan timbulnya disorientasi moral religius terutama runtuhnya martabat manusia. Hal ini juga diakibatkan oleh berkuasanya ilmu-ilmu positif-empiris yang merupakan standar kebenaran tertinggi sehingga mengakibatkan nilai-nilai moral religius kehilangan wibawanya. Sehingga manusia mengalami keterasingan, ketertekanana,  depresi mental, bahkan tidak jarang menimbulkan gerakan-gerakan tribalisme. Dalam pengertian inilah  maka tokoh postmodernisme hadir untuk melakukan dekonstruksi paradigma modernisme dan dalam dunia filsafat upaya dekonstruksi dilakukan sebagai upaya untuk menemukan paradigma baru dalam memahami hakikat manusia melalui wacana kebahasaan.

3.         ]Ciri-ciri Postmodernisme
Era Postmodernisme yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;
a.   Bahasa semata dinilai sebagai cermin realitas yang menunjukkan kesepadanan logis anatara dunia realitas dan bahasa.
]b.  Manusia adalah bahasa dipandang sebagai keberagaman sistem permainan dalam berbagai macam konteks kehidupan.
d.   Permainan bahasa lebih menekankan pada aspek pragmatik daripada logis.

Bahasa sebagai pusat wacana memiliki andil yang cukup besar pada era postmodernisme ini. Menurut Lyotard, legitimasi terhadap pengetahuan tidak bisa bersandar pada satu narasi besar, sehingga ilmu itu sekarang paling baik dipahami dalam pengertian “permainan bahasa”. Seperti yang dikemukakan oleh Lyotard: “Ilmu pengetahuan tidak memiliki metabahasa umum di mana semua keberagaman bahasa lain dapat diterjemahkan dan dievaluasi. Tidak terdapat alasan untuk memikirkan adanya suatu kemungkinkan menentukan metapreskripsi yang berlaku bagi semua permainan bahasa itu atau bahwa suatu konsensus yang dapat direvisi seperti metapreskripsi yang berlaku pada waktu itu dalam masyarakat ilmiah yang dapat mencakup keseluruhan metapreskripsi yang mengatur pernyataan-pernyataan yang beredar dalam kolektifitas sosial”. (Lyotard, 1989: 64-5)


C. PERAN BAHASA DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME

Bahasa sebagai pusat wacana filsafat pada era postmodernisme memiliki banyak peran, diantaranya :

Bahasa sebagai paradigma dekonstruksi
Tradisi modernisme secara linguistis membangun suatu narasi besar yaitu totalitarian dalam arti hanya ada satu prinsip saja yang mendasari dan membangun realitas ini, yang menurut istilah Lyotard disebut homologi (Awuy, 1995:161). Manusia tidak dipahami sebagai makhluk yang bersifat total tetapi bersifat parsial. Oleh karena itu manusia haruslah dipahami dalam realitas keanekaragamannya. Dari sinilah lahirnya suatu dekonstruksi terhadap paradigma modernisme yaitu melakukan suatu pembongkaran dan menyusun kembali dalam suatu konstruksi baru akan tetapi bukan melakukan penghapusan.
Seperti strategi dekonstruksi Derrida yang secara sistematik dapat disusun dalam tingkatan langkah-langkah sebagai berikut : pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya kemudian terlihat peristilahanyang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu kemudian dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara hal-hal yang berlawanan itu. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan kedalam kategori oposisi lama (Derrida, 1981, dalam sugiharto,1996: 45,46).
Bahasa, menurut Derrida adalah pengalaman empirik manusia yang difilter oleh idee-ideenya, sehingga bahasa adalah proyeksi dari pemfilteran atas pengalaman sendiri. Ada unsur kreatif manusia. Konsep bahasa Derrida (dan juga phenomenolog) memang bersumber pada filsafat Descartes, Kant dan Husserl.
Pemaknaan Derrida tersebut berlanjut menjadi pandangan bahwa makna dari suatu tanda akan berbeda dan berkembang terus, tidak dapat dibuat kesepakatan tentang tanda-tanda tersebut, perlu telaah berkelanjutan atas konstruk bahasa yang ada. Sehingga pendekatan Derrida disebut pendekatan postsrukturalisme.
Derrida merupakan satu dari sekian tokoh filsuf era postmodernisme yang melakukan dekonstruksi bahasa. Masih banyak tokoh filsafat lainnya seperti Lyotard yang menganalisis bahasa melui model paradigma language game milik Ludwig Weidgenstein yang berkesimpulan bahwa realitas tidak mungkin diwakili oleh sebuah konsep bermakna tunggal.
Ada tiga karakteristik dalam setiap permainan bahasa. Pertama, setiap aturan dalam permainan itu tidak mendapatkan legitimasi dari dirinya sendiri melainkan merupakan hasil kontrak di antara pemainnya (eksplisit maupun tidak). Kedua, jika tidak ada aturan maka tidak ada permainan; suatu modifikasi kecil sekali pun terhadap sebuah peraturan akan mengubah permainan itu. Ketiga, setiap pernyataan harus dianggap sebagai suatu “move” dalam permainan.
Karakteristik ketiga ini dipakai Lyotard sebagai prinsip pertama yang mendasari keseluruhan metodenya: mengeluarkan suatu pernyataan (move) adalah bertarung – dalam konteks suatu permainan – dan tindakan mengeluarkan pernyataan semacam itu berada dalam domain “general agonistic” (pertarungan pernyataan/argumentasi). Prinsip “pertarungan pernyataan” ini membawa Lyotard pada prinsip kedua, yakni bahwa ikatan sosial dari “move-move” bahasa (language “moves”). (Kristanto, 2002: 8).
Berbeda dengan Lyotard, Richard Rorty datang dengan pemikiran bahwa keunikan bahasa menjadikan keberagaman budaya. Setiap budaya memilkiki peluang untuk mengambil posisi yang kedua itu, yaitu berpeluang untuk meyakinkan budaya lainnya bahwa ia bgus karena menghasilkan sesuatu yang meman bagus ( Rorty dalam Sugiharto, 1996: 25).
Selanjutnya Gadamer, bahasa dipahami sebagai aktualisasi tradisi, dan dengan demikian hakikat pluralitas bahasapun tetap merupakan paradigma bagi analisis hubungan antar budaya.  

[if !supportLists]b.      [endif]Fungsi transformatif bahasa
Dalam prinsip logosentrisme, bahasa semata-mata dipandang sebagai cerminan realitas yang menunjukkan adanya kesepadanan logis, anatara dunia realitas dengan bahasa. Namun kompleksitas hidup tidak dapat hanya dilukiskan melalui struktur logis bahasa. Kemudian bahasa menurut filsuf pada periode Wittgeinstein diwujudkan sebagai suatu keragaman sistem permainan dalam berbagai macam konteks kehidupan.
Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan ketaraf tingkatan hakikat kodrat manusia, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa adalah munculnya kemampuan reflektif. Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri.

Keterbatasan bahasa
Berdasarkan pandangan filsuf tentang bahasa pada umumnya persoalan tentang bahasa pada umumnya persoalan tentang batas bahasa pada dasarnya berakar pada dominasi paradigma deskriptif dalam bahasa. Segala hal yang tidak dapat dideskripsikan lalu dengan segera dikatakan sebagai wilayah transenden dalam bahasa. Maka sebenarnya bukan  berarti wilayah transenden itu tidak dapat dirumuskan melainkan hal yang transenden itu adalah sebutan yang kita pakai untuk menunjuk batas deskriptif bahasa.
Berdasarkan pada sifat keterbatasan bahasa, maka terbukalah suatu kemungkinan paradigma lain dalam aspek pragmatis bahasa yang kiranya akan lebih memadai yaitu paradigma transformatif, yang menekankan pada fungsi transformatif bahasa.
Dari beberapa keterangan diatas, lewat berbagai cara menunjuk pada persoalan bahasa. Bahasa yang merupakan persoalan utama dalam masa postmodernisme, memiliki porsi yang cukup besar untuk dibahas dan dianalisis oleh beberapa tokoh filsafat. Dengan demikian bahasalah akhirnya yang turut andil dalam era postmodern.

D.    KESIMPULAN
Dalam fase perkembangan filsafat dikenal fase logosentrisme, yaitu sebuah pemikiran  filsafat dimana meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat atau lebih dikenal dengan pasca modern atau postmodern.
Postmodernisme yang merambah keberbagai bidang kehidupan tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan modernisme yang dinilai mengalami kegagalan. Beberapa tokoh hadir sebagai pendekar filsafat dalam masa ini untuk melakukan wacana dekonstruksi         terhadap pemikiran sebelumnya, melihat bahasa sebagai fungsi transformatif dan memberikan batasan bahasa.
Tokoh-tokoh filsafat pada masa ini diantaranya Derrida yang mengembangkan pemikirannya bertolak dari konsep strukturalisme bahasa Ferdinand de Saussure, adapun Lyotard beranjak dari konsep ‘language game’ Ludwig Wittgeinstein (Awuy, 1995;162).Gardamer yang mendasarkan pada prinsip hermeneutiknya , Habermas, dsb.
Dari berbagai usaha, pemikiran para tokoh filsafat diatas, dilihat dari berbagai cara, persoalan yang menjadi sentral adalah tentang bahasa. Dekonstruksi Derrida mendasarkan pada        paradigma bahasa, Lyotard menyarankan untuk kembali pada ‘pragmatika bahasa’ milik Ludwig Wittgeinstein, Gadamer dalam buku Warheit und Methodeedisi II tahun 1965 dalam bagian ketiganya membahas tentang peran bahasa dalam pergeseran ontologi hermeneutik dari bahasa sebagai experience of the world menuju universalitas hermeuneutik.
Oleh sebab itu, bahasa menjadi lakon dalam perkembangan postmodernisme yang dimaknai sebagai sesuatu yang berkembang (dinamis) dan tidak bisa dimaknai dengan sesuatu  yang tetap. Postmodernisme memiliki ciri-ciri yaitu bahasa semata dinilai sebagai cermin realitas yang menunjukkan kesepadanan logis anatara dunia realitas dan bahasa, manusia adalah bahasa, bahasa dipandang sebagai keberagaman sistem permainan dalam berbagai macam konteks kehidupan dan permainan bahasa lebih menekankan pada aspek pragmatik daripada logis.
Peran bahasa dalam postmodernisme adalah bahasa sebagai paradigma dekonstruksi, fungsi transformatif bahasa dan keterbatasan bahasa. Terlihat bahwa postmodernisme mampu membawa masyarakat berfikir kritis dan dinamis hingga sekarang.







DAFTAR PUSTAKA

Alston, P. William. 1964. Philosophy of Language. Prentice Hall Inc., London.
Armas,Adnin dari Alan How, The Habermas-Gadamer, lihat Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, h.  5.
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 110.
Cassirer, Ernst. 1962. An Essay on Man. United States Of America: Yake University Press.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko, Dick 2002 Kamus Populer Filsafat . Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kaelan. 1998.  Filsafat Bahasa : Masalah dan Perkembangannya. Paradigma Offset : Yogyakarta.
Kaelan. 2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigama.
Kinayati. 2001. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rasjidi, H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Russell, Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Oxford: Alden Press.

Thomson, John B. 2003. Filsafat Bahasa dan Hermeunitik Untuk Penelitian Sosial.Surabaya: Visi Humanika.

Comments

Popular posts from this blog

MANTRA BUGIS MAKASSAR

MANTRA/  DOANGANG  ( doaG ) ANDI SAHTIANI JAHRIR Mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada anak keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam.  Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka man

PAPPASENG TO UGI

PAPPASENG  BUGIS ( ppes) Pappaseng  berasal dari kata dasar paseng yang berarti  pesan  yang harus dipegang sebagai amanat, berisi nasehat, dan merupakan wasiat yang perlu diketahui dan diindahkan. Pappaseng dalam bahasa Bugis mempunyai makna yang sama dengan  wasiat  dalam bahasa Indonesia.  Pappaseng  dapat pula diartikan  pangaja’  yang bermakna nasihatyang berisi ajakan moral yang patut dituruti.  Dalam tulisan punagi (1983:1) dinyatakan bahwa pappaseng adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya (orang banyak) yang harus selalu diingat sehingga amanatnya perlu dipatuhi dan dilaksanakan atas rasa tanggung jawab. Mattalitti (1980:5) juga mengemukakan bahwa  pappaseng  bermakna petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang bugis zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik. Jadi,  pappaseng  adalah wasiat orang-orang tua dahulu kepada anak cucunya (generasi berikutnya) yang berisi petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus dipatuhi dan dilaksanaka

MAKALAH LANDASAN PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN

BAB   I PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan pendidikan  manusia dapat memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Banyak pendidik yang memaksakan kehendaknya kepada peserta didik untuk melakukan hal yang mereka inginkan sedangkan peserta didik sendiri tidak membutuhkanya, maka  setiap guru dituntut untuk memahami teori psikologi pendidikan  agar  potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan berdasarkan tahap perkembangannya.  Banyak para ahli yang memaparkan tentang perkembangan  peserta didik diantaranya Piaget, Carl R. Rogers, Kohnstam.  Pendidikan selalu melibatkan kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologi merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Sementara itu, keberhasilan pendidik dalam melaksanakan berbagai peranannya akan dipengaruhi oleh tentang  pemahamannya dalam pendidikan perkembangan peserta didik. Oleh karena itu agar sukses dalam mendidik, perlu memahami