Tugas
Resensi Buku
FILSAFAT BAHASA
Disusun oleh:
Andi Sahtiani Jahrir
PASCASARJANA UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
PROGRAM DOKTORAL
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama allah
yang maha pemurah lagi maha penyayang. Segala puji syukur bagi Allah yang telah
memberikan hikmat-Nya kepada penulis, sehingga Ringkasan Buku Drs. Kaelan, M.S. ini yang berjudul Filsafat
Bahasa: Masalah dan Perkembangannya dapat
terselesaikan dengan baik. Selanjutnya, saya ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses rampungnya
ringkasan ini. Terima kasih yang sangat mendalam kepada Prof. Dr. Ide Said D.M.
sebagai dosen pengampu matakuliah Filsafat Ilmu yang telah berupaya membimbing
dan mengarahkan penulis dalam meringkas isi buku yang diterbitkan oleh Paradigma,
Yogyakarta.
Penulis menyadari, bahwa
walaupun segenap kemampuan telah tercurah demi kesempurnaan ringkasan ini.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa penyusunan ringkasan ini tak terlepas dari
berbagai kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan sarannya sangat
diharapkan demi perbaikan dalam penyusunan ringkasan berikutnya.
Semoga ringkasan ini
mampu menambah wawasan dan manfaat bagi kita semua. Amin.
Makassar, 19 Oktober 2017
Andi
Sahtiani Jahrir
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................
1
A. Latar Belakang
.................................................................................................................
1
B. Manfaat Mempelajari Filsafat
Bahasa ..............................................................................
3
C. Tujuan
.............................................................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
FILSAFAT......................................................................................
5
A. Pengertian Filsafat Bahasa
...............................................................................................
4
B. Hubungan Filsafat Dengan
Bahasa ..................................................................................
5
1. Hubungan bahasa Dengan Metafisika
...................................................................... 5
2. Hubungan
Bahasa Dengan Epistemologi .................................................................
6
3. Hubungan Bahasa Dengan Logika
........................................................................... 7
C. Lingkup Filsafat Bahasa
..................................................................................................
7
D. Kesimpulan .......................................................................................................................
8
BAB III BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT
................................. 8
BAB IV FILSAFAT ANALITIKA
......................................................................................
18
BAB V HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA
.............................................. 25
BAB VI HAKIKAT BAHASA SEBAGAI DASAR FILSAFAT
TEORI
BAHASA
.................................................................................................................
34
BAB VII PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT
POSTMODERNISME …………...39
Daftar Pustaka……………………………………………………………………...……43
IDENTITAS BUKU
Judul Buku :
Filsafat Bahasa ……….(Masalah.dan ……….Pengembangannya)
Penulis : Prof. Dr. Kaelan, M.S
Penerbit : Paradigma
Kota terbit : Yogyakarta
Halaman Buku : 326 Halaman
ISBN : 978979865806
Harga : Rp86.000,00
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan
mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin
ke hari esok. Sesorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga
dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil
penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui
filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak
terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu..
Minat seseorang terhapad kajian bahasa
bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika
corax dan cicero pada zaman yunani dan romawi abad 4 – 2 sm hingga saat ini
(post modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat
menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang
dunia filsafat dapat dikatan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul
bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan
pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat
bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang
terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu: 1) filsafat mengenai bahasa;
dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini, akan
dibahasa lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-gari
besar yang dibahas yaitu : spekulasi asal-usul bahasa, defenisi bahasa dan
filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan
bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terahadap
bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahas.Filsafat bahasa
adalah penyelidikan beralasan ke alam, asal-usul, dan penggunaan bahasa.
Sebagai topik, filsafat bahasa bagi para filsuf analitik berkaitan dengan empat
masalah utama sifat makna, penggunaan bahasa, kognisi bahasa, dan hubungan
antara bahasa dan realitas.
Untuk filsuf kontinental. Namun, filsafat
bahasa cenderung ditangani, bukan sebagai topik yang terpisah, tetapi sebagai
bagian dari logika, sejarah atau politik.
Pertama, filsuf bahasa menanyakan sifat
makna, dan berusaha untuk menjelaskan apa artinya "berarti" sesuatu.
Topik dalam pembuluh darah yang meliputi sifat sinonim, asal-usul makna itu sendiri,
dan bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Proyek lain di bawah judul
ini kepentingan khusus filsuf analitik bahasa adalah penyelidikan cara yang
tersusun menjadi kalimat keluar keseluruhan bermakna arti bagian-bagiannya.
Kedua, mereka ingin memahami apa yang
pembicara dan pendengar lakukan dengan bahasa dalam komunikasi, dan bagaimana
digunakan sosial. Kepentingan khusus dapat meliputi topik pembelajaran bahasa,
penciptaan bahasa, dan tindak tutur.
Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa
berkaitan dengan pikiran baik dari pembicara dan penerjemah. Dari minat
tertentu adalah dasar untuk terjemahan keberhasilan kata menjadi kata lain.
Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa
dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang
peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis apa
makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf berorientasi kebenaran bahasa
mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau salah,
atau apakah kalimat dapat mengekspresikan proposisi tentang hal-hal yang tidak
ada, bukan seperti kalimat yang digunakan.
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan
mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin
ke hari esok. Seseorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga
dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil
penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui
filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak
terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Minat seseorang terhadap kajian bahasa
bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika
Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad ke-4 SM sampai abad ke-2 SM
hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat
yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang
dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul
bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan
pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat
bahasa.
Kaelan telah menunjukkan dua jalan yang
terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu :
1. Filsafat
mengenai bahasa; dan
2. Filsafat
berdasarkan bahasa.
Di dalam pembahasan buku Drs. Kaelan M.S ini,
akan dibahas lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Adapun garis-garis
besar yang dibahas yaitu : (1) bahasa sebagai sumber perhatian filsafat, (2)
filsafat analitika, (3) hakikat bahasa dalam hermeneutika, (4) hakikat bahasa
sebagai dasar filsafat teori, (5) peranan bahasa dalam filsafat
postmodenisme, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau
dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan
bahasa, fungsi filsafat terhadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam
pengembangan bahasa serta keterbatasan bahasa.
B. ]Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa
Berfilsafat adalah berusaha
menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan
berpikir serius. Kecakapan berpikir serius sangat diperlukan oleh
setiap orang. Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan sampai
saat ini. Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani
secara serius, hanya diwacanakan saja.
C. Tujuan
Tujuan mempelajari filsafat (termasuk
filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu
persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi persoalan dengan tuntas
dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini jika
ia tidak melatihnya.
BAB II
PEMBAHASAN FILSAFAT
A. Pengertian Filsafat
Bahasa
Kendati setiap manusia berbahasa dan melalui
bahasa mereka dapat berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya serta bahasalah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan
yang lain, tidak banyak orang memberikan perhatian pada asal usul bahasa. Orang
hanya take for granted bahwa bahasa hadir bersamaan dengan kehadiran manusia,
sehingga di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Jadi bahasa adalah
given. Orang mulai menanyakan asal mula bahasa ketika ada persoalan mengenai
hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang ditandai, hakikat makna, dan
perbedaan makna kata yang mengakibatkan kesalahpahaman. Para ahli lebih
memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam bahasa, perubahan bahasa, wujud
bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa, pengaruh bahasa, perencanaan bahasa,
pengajaran bahasa, perolehan bahasa, evaluasi dan sebagainya daripada melacak
sejarah kelahirannya. Padahal dengan mengetahui sejarah kelahirannya akan dapat
diperoleh pemahaman yang utuh tentang bahasa.
Filsafat bahasa sebagai
salah satu cabang filsafat memang mulai dikenal dan berkembang pada abad XX
ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan
konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, karena
bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis,1976). Filsafat Bahasa
baru dikenal dan berkembang pada abad xx, namun berdasarkan fakta sejarah
hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman
yunani.
Perkembangan sejarah filsafat bahasa dapat dikelompokkan
menjadi dua macam pengertian yaitu:
Pertama, Perhatian filsuf terhadap bahasa
dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam
filsafat. Pada periode abad XX para filosof semakin sadar bahwa
banyak problema-problema serta konsep-konsep filsafat dapat dijelaskan melalui
analisis bahasa misalnya berbagai macam pertanyaan filosofis seperti
‘kebenaran’, keadilan, kewajiban, kebaikan dan pertanyaan fundamental filosofis
lainnya dapat dijelaskan dan diuraikan melalui analisis bahasa atau analisis
penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.
Kedua, Filsafat bahasa dalam bidang-bidang
filsafat lainnya seperti filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat alam,
filsafat sosial dan bidang-bidang filsafat lainnya yang membahas , menganalisis
dan mencari hakikat dari objek material filsafat tersebut.
Jadi Bahasa sebagai objek material filsafat,
sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang bahasa seperti apakah hakikat
bahasa itu sebagai substansi yang merupakan makna saja yang hanya dapat
dipahami, dipikirkan, dan dimengerti.
B. Hubungan Filsafat dengan Bahasa
Definisi lain, bahasa adalah suatu bentuk dan
bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak
sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh mackey (1986:12).
Menurut wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem
simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang
bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi
oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.Bahasa pada
hakikatnya merupakan suatu system symbol yang tidak hanya merupakan
urutan-urutan bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya
nonempiris. Dengan demikian bahasa adalah merupakan system symbol yang memiliki
makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta
merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Bertrand Russel
mengatakan bahwa bahasa memiliki kesusaian dengan struktur realitas.
Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang
tidak akan diketahui oleh khalayak jika tidak dikomunikasikan melalui bahasa.
Meskipun diakui bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi
komunikasi, mereka tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang
paling penting adalah penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat
komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa
mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah
satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.
Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang
berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya.
Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness
(kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan),
(4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness
(menyesatkan).
Maka dapat dikatakan bahwa hubungan bahasa
dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam
cabang-cabang filsafat metafisika logika dan epistemologi.
1.
Hubungan Bahasa dengan Metafisika
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat
di samping cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai
filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas,
kesempurnaan, yang ada yang secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab
terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu. Untuk itu
Aristoteles menyebutnya dengan istilah ‘sofia dan teologi’ secara
etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa yunani ‘ta meta ta
physica’yang secara harfiah di balik fisika atau udi balik hal-hal yang
bersifat fisik.
Chistian Wolf, metafisika meliputi dua cabang
yaitu ontology dan kosmologi umum, teori mengenai roh, adapun teori mengenai
roh dibagi atas psikologi dan teologi kodrati (natural).
Metafisika berupaya untuk memformulasikan
segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan
hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala
sesuatu tersebut dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan analisis
bahasa terutama karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang
bersifat empiris
Misalnya, pertanyaan- pertanyaan fundamental
yang diajukan oleh plato. Apakah keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontadiksi,
kebaikan , adalah upaya-upaya secara analitik melalui bahasa untuk membuat
eksplisit tentang pertanyaan- pertanyaan metafisis tersebut.
2.
[endif]Hubungan Bahasa dengan Epistemologi
Epistemologi adalah salah satu cabang
filsafat yang pokok, yang secara etimologis istilah epistemologi berasal dari
bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang
pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang
pengetahun manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan
manusia.
Selain dalam pengetahuan peranan penting
bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga
teori kebenaran dalam epistemologi yaitu :
a. Teori kebenaran koherensi yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.
b. Teori kebenaran korespondensi yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana materi
pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau
berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.
c. Teori kebenaran pragmatis yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa
suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis
bagi kehidupan praktis manusia.
3. Hubungan Bahasa dengan Logika
Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal
dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang
bersumber pada akal disebut berpikir. Maka peranan bahasa di dalam logika
menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan
adalah kegiatan berpikir, adapaun bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian atau
konsep, proposisi atau pernyataan, dan penalaran atau reasoning.
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata
atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa
kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b)
kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d)
kesesatan karena amfiboli (amphibolia).
C. Lingkup Filsafat Bahasa
Menurut keraf dalam smarapradhipa (2005:1),
memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai
alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan
simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat
khusus yang memiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta
bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak
mempunyai prinsip-prinsip yang jelas dan terdifinisikan dengan baik
(Alston, 1964 : 1). Hal ini disebabkan karena penganut-penganut fisafat bahasa
atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya
sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan diantara mereka, yaitu bahwa
mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadapa bahasa baik sebagai objek materi
dalam berfisafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat.
D. Kesimpulan
Filsafat dan Bahasa adalah dua kata yang
saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu
tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat
keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam
beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran
yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pembahasan
filsafat bahasa sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih
kreatif dan inovatif. Filsafat bahasa memberikan spirit bagi perkembangan dan
kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu
baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk
jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang
sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada
suatu obyek kajian ilmu.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari
suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan
berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala
alam. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi
ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi harus
dikatikan dengan ontologi dan aksiologi.
Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah
kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak
eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada
konteks), (5) misleadingness (menyesatkan).
Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata
atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa
kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b)
kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d)
kesesatan karena amfiboli (amphibolia).
BAB III
BAHASA SEBAGAI SUMBER
PERHATIAN FILSAFAT
A. Pengantar
Definisi lain, bahasa adalah suatu bentuk dan
bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak
sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam
sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh mackey (1986:12).
Menurut wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem
simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang
bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi
oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Perkembangan bahasanya biasanya terdapat di
dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi dapat dilihat
pada perkembangan ilmu pengetahuannya juga mengalami pertumbuhan sejajar dengan
alatnya yaitu bahasa.Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan
bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam
pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan
oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis
tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam
mengungkapkan konsep-konsep tersebut.
Hubungan yang sangat erat antara bahasa
dengan filsafat tersebut sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman
pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf
berbeda-beda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat
yang dikembangkannya.
Karya-karya besar para filsuf Yunani yang
menaruh perhatian terhadap bahasa inilah yang dilanjutkan oleh para sarjana
dari Alexandrian terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada
perkembangannya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran
tradisionalisme.
Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh
perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama
dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa
yang digunakan oleh Thomas dalam karyanya Summa Theologiae adalah dengan
analogi dan metaphor.
Periode filsafat abad XX perhatian filsuf
terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar bahwa dalam
kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep
filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan analisis bahasa.
Pengaruh linguistik modern yang didasarkan
pada pemikiran filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas
di berbagai wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri.
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus
dipimpin sang waktu . Kekhusukan manusia dalam mensyukuri karunia Sang Maha
Kuasa nampanya terusik dengan munculnya kegelisahan manusia akan dirinya.
Keakraban manusia dalam menafsirkan suratan Tuhan sebagaimana dilakukan oleh
kaum Patristik dan Sekolastik terutama sebagaimana dilakukan oleh Thomas
Aquinas pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan munculnya kesadaran
manusia akan dirinya sendiri. Demikianlah akhirnbya fmasa kejayaan abad
pertengahan memudar ditelan waktu dan munculah masa abad modern yang diawali
dengan “ Renaissance”. Secara harfiah kata-kata Renaissm brerarti kelahiran
kembali.
B. Zaman Yunani
Kata filsafat berasal dari kata Yunani
philosophia, terdiri dari kata philos yang berarti cintaatau sahabat dan sophia
yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi, philosophia
berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.
1. Masa Pra Sokrates
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai
bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir
dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis
dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran filsafat Yunani bergeser dari
filsafat alam kepada filsafat bahasa.(Cassirer, 1987:170). Bahkan
masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa
(Borgmann, 1974:3).
Pertentangan antara ‘Fisei’ dan ‘Nomos’
Perhatian para filsuf terhadap bahasa
nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu
apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu
bersifat konvensi atau nomos.
Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah
bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal
usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia
itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak.
Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna
bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit
agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’karena hal ini
merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman.
Kaum Sofis
Pada pertengahan abad 5 SM. Athena menjadi
pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Waktu itu di bidang politik Athena
memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpinan Perikles.Demikian juga
halnya dengan filsafat.Terdapatlah suatu golongan yang dinamakan Sofistik,
sehingga penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal karena ahli di
bidang retorika dan ahli berpidato.
2. Sokrates
Sokrates yang hidup antara tahun 469-399 SM
adalah seorang filsuf Yunani. Ia sangat menaruh perhatian pada manusia dan
menginginkan agar manusia itu mampu mengenali dirinya sendiri. Menurutnya, jiwa
manusia merupakan asas hidup yang paling dalam.Jadi jiwa merupakan hakikat
manusia yang memiliki arti sebagai penentu kehidupan manusia. Berdasarkan
pandangannya itu, ia tidak mempunyai niat untuk memaksa orang lain menerima
ajaran atau padangan tertentu. Ia justru mengutamakan agar orang lain dapat
menyampaikan pandangan mereka sendiri. Untuk itu ia menggunakan metode
dialektika, yaitu dengan cara melakukan dialog dengan orang lain, sehingga
orang lain dapat mengemukakan atau menjelaskan pandangan atau idenya. Dengan
demikian dapat timbul pandangan atau alternatif yang baru.Sokrates tidak
meninggalkan tulisan-tulisan tentang pandangannya, namun pandangan Sokrates
tadi dikemukakan oleh Plato, salah seorang muridnya.
Akibat kekacauan dan kelicinan kaum Sofis
maka Sokrates meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’.
Proses dialektis-kritis ini mengandung suatu pengertian ‘dialog antara dua
pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan
memakai pertemuan (interplay) anta ride (Titus, 1984:17).
3. Plato
Plato (427-347 SM) mengemukakan pandangannya
bahwa realitas yang mendasar adalah idea atau idea.Ia percaya bahwa alam yang
kita lihat atau alam empiris yang mengalami perubahan itu bukanlah realitas
yang sebenarnya. Dunia penglihatan atau dunia persepsi, yakni dunia yang
konkret itu hanyalah bayangan dari ide-ide yang bersifat abadi dan
imaterial.Plato menyatakan bahwa ada dunia tangkapan inderawi atau dunia nyata,
dan dunia ide.Untuk memasuki dunia ide, diperlukan adanya tenaga kejiwaan yang
besar dan untuk itu manusia harus meninggalkan kebiasaan hidupnya,
mengendalikan nafsu serta senantiasa berbuat kebajikan.Plato menyatakan pula
bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga tingkat, yaitu bagian tinggi ialah akal
budi, bagian tengah diisi oleh rasa atau keinginan, dan bagian bawah ditempati
oleh nafsu.Akal budilah yang dapat digunakan untuk melihat ide serta
menertibkan jiwa-jiwa yang ada pada bagian tengah dan bawah.
Plato seorang filosof dari Athena yang
menuangkan karya filosofisnya diwujudkan melalui bentuk dialog. Persoalan
dikotomi tentang hakikat bahasa ‘fisei’ dan ‘nomos’tertuang
dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Plato mengemukakan doktrinnya yang
disebut ‘onomatopoeia’ (Cassirer, 1987:171) filsafat bahasa Plato inilah
yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama dengan benda-benda.
[if !supportLists]4.
[endif]Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) pernah menjadi murid
Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal.Ia senang melakukan perjalanan
keberbagai tempat dan pernah menjadi guru Pangeran Alexander yang kemudian
menjadi Raja Alexander Yang Agung. Ia jug mendirikan sebuah sekolah yang
disebut Lyceum. Aristoteles merupakan seorang pemikir yang kritis, banyak
melakukan penelitian dan mengembangkan pengetahuan pada masa hidupnya.Ia banyak
menaruh perhatian pada ilmu kealaman dan kedokteran. Tulisan-tulisannya dapat
dikatakan meliputi segala ilmu yang dikenal pada masanya, termasuk ilmu
kealaman, masyarakat dan negara, sastra dan kesenian, serta kehidupan manusia.
Aristoteles seorang filsuf dari Stagira yang
memiliki karya yang cukup banyak.Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika,
kategori demikian pula tentang filsafat bahasa. Aristoteles mengemukakan
pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak
dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Teori
Aristoteles disebut dengan istilah ‘hilemorfisme’ yaitu teori
bentuk-materi.
Dikotomi ‘analogi’ dan ‘anomali’
Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani
ditandai pula dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’ yang nampaknya berpegang
pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan
bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki
keteraturan dan itu terefleksi melalui bahasa.
Kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya
tidak teratur (irreguler).Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan
sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang
disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan
itu diperbaiki.
5. Mazhab Stoa
Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton
sekitar menjelang abad keempat SM. Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf
yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak
dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logika.
Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan
rintisan kearah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih
spekulatif (Parera, 1983:44-45).
C. Zaman Romawi
Alexander Agung yang dalam sejarah telah
mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun
Yunani.Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki
ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik.
Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa
Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat
juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara
pandangan analogi dan anomali.
Etimologi
Dalam bidang etimologi Varro mencatat
perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata,
walaupun beberapa contohnya kurang tepat.Ia memberikan contoh perubahan bunyi
‘duellum’ menjadi ‘bellum’ = perang.
Pengertian
kata
Menurut Varro perihal pembahasan
kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan
anomali terutama dalam bahasa Latin. Yang disebut kata ialah bagian
dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum,
jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.
Konsep Morfologi
Dalam bidang morfologi Varro
menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata.Ia menyusun
satu sistem infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut:
Yang berinfleksi kasus --- kata benda
(termasuk sifat)
Yang berinfleksi ‘tense’--- kata kerja
Yang berinfleksi kasus dan ‘tense’---
partisipel
Yang tidak berinfleksi --- adverbium
Kasus dan Deklinasi
Dalam hal kasus perihal penggunaan dan
maknanya dalam bahasa Latin ada 6 kasus.Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya
mengenal 5 kasus.Kasus yang keenam adalah ablativus.Jadi ada kasus nominativus
(bentuk primer, pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), datives (yang
menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan) dan ablativus (menyatakan
asal, dari).Konsep kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap
perkembangan studi bahasa.
Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas
lebih jauh. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk
derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi
yaitu deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk
yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola. Deklinasi voluntaria yaitu
satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif
dan manasuka.
2. Konsep Priscia
Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa
lama kelamaan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah studi
ketatabahasaan.Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh
terhadap perkembangan bahasa sesudahnya.
Fonologi Dan Morfologi Priscia
Dalam bidang fonologi priscia membicarakan
tulisan atau huruf yang disebutnyalitterae.Litterae merupakan bagian
yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan.Nama dari huruf-huruf ini
adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebur potestas. Priscia
membedakan pula atas vox articulate, yaitu bunyi yang diucapkan
untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang
dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulate atau inartikulata. Akan tetapi
yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat
ditulis.
Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan
bahwa kata disebut dictio.Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan
harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.
Dalam bidang morfologi inilah Priscia
membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu:
1. Nomen : dalamnya termasuk kata sifat,
kata benda yang menunjukkan substansi dan kualitas.
2.Verbum : adalah jenis kata yang mempunyai
infleksi untuk menunjukkan ‘tense’, modus, tetapi tidak berinfleksi kasus.
3. Participium : yaitu sebuah kelas kata yang
selalu berderivasi dari verbum.
4. Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat
menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan
ketiga.
5. Adverbium : keistimewaan adverbium
ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara
sintaksis dan semantic merupakan atribut verbum.
6.
[endif]Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga
dipergunakan sebagai kata yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau
dalam kompositum.
7.
[endif]Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan
menyatakan perasaan atau sikap pikiran.
8.
[endif]Conjunctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara
sintaksis menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan
hubungan antara unsur satu dengan lainnya.
D. Zaman Abad Pertengahan
Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua
arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan
latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka
pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa.
Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu
sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui
analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar
yang mendukung berkembangnya ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistaedan
konsep bahasa spekulativa.
1. Pemikiran Thomas Aquinas
Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi
tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode
abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theologiae (ichtisar
teologi) (Bertens, 1989:35). Pemikiran filosofis Thomas sangat
dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles.
Analisis Bahasa
Analisis bahasa praktis menjadi metode yang
akrab dalam penuangan pemikiran-pemikiran filosofis.Dalam pemikiran filosofis,
Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja,
terang dan berbentuk murni.
Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem
pemikirannya Thomas menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan
menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis.
Analogi Dan Metafor
Dalam filsafat Thomas doktrin tentang
‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke
taraf ilmiah filosofis sebagaimana dilakukan Aristoteles dan menghindarkan diri
dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996:124).
Selain melalui analogi upaya Thomas untuk
mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan
melalui metafor. Adanya dilemma yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui
karyanya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan
metafor.
Mazhab Modistae
Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap
pemikiran hakikat bahasa secara tekum mereka mengembangkan dan nama Mostae
muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi’. Dalam
konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama
dan digunakan pula dalam penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa.
Konsep Bahasa Spekulativa
Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan
hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh
Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Tugas dari konsep bahasa
spekulativa adalah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai
sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihka
lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Disimpulkan
pula bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan.
Kaum spekulativa berdasarkan filsafat
metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan
jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang
terkenal pada masa itu yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin
Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika
Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang
benar dalam zaman itu (Parera, 1983:59).
E. Zaman Abad Modern
Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus
dipimpin sang waktu. Akhirnya muncullah masa abad modern yang diawali dengan
‘Renaissance’ berarti kelahiran kembali.Secara historis ‘Renaisance’ adalah
suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya lahir
kembali.
Perkembangan filsafat pada abad modern ini
ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern
ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang
kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.
1. Rene Descartes
Filsuf yang membuka cakrawala abad modern
adalah Rene Descartes sehingga ia digelar sebagai bapak filsafat modern.
Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat
analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa
metode yang ia kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai
kebenaran pengetahuan Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala
sesuatu. Namun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisime
mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan.
2. Thomas Hobbes
Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa
rasionalisme Descartes adalah paham empirisme. Thomas
Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran
empirisme. Thomas Hobbes menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme
dalam suatu sistem filsafat materialisme.
Pemikiran filsafat materialisme sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan dengan
pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan pemikiran hakikat
bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode
selanjutnya.
3. John Locke
Pemikiran empirisme John Locke merupakan
sintesa rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun
Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang
ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai
ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut
Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal
atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal
melalui inderawi (Hadiwijono, 1983:36).
Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan
yang timbul dari gagasan-gagasan manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun
menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang
tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya
ungkapan tersebut.
4. George Berkeley
Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi
material di luar kita, yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman
dalam roh saja sehingga pemikiran Berkeley dikenal dengan aliran imaterialisme
(Bertens, 1989:52).
Pemikiran Berkeley ini di samping
secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf
analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena
prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika,
juga memiliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu
pengamatan yang kalau menurut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip
verifikasi.
5. David Hume
Tradisi pemikiran empirisme yang paling
konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume.Menurut Hume bahwa manusia
tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah
pengamatan.
Pengaruh pemikiran empirisme sangat kuat
terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembangkan pengertian hakikat
bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang
mengakui hakikat realitas bahasa sebagai suatu realitas empiris.
6. Immanuel Kant
Kant adalah filsuf Jerman yang berusaha untuk
melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat
itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63).
Pemikiran Kant tersebut dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya
kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya terlebih dahulu
menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.
Kritik atas rasio murni
Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa
untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme.Menurut Kant baik rasionalisme
maupun empirisme sebenarnya keduanya bersifat berat sebelah.Ia berusaha
menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara
unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.
Kritik atas rasio praktis
Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan,
sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio
murni’. Tetapi di samping itu juga ‘rasio praktis’ yaitu rasio yang mengatakan
apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan
perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis
memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategoris).
7. Positivisme August Comte
Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang
positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada
sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.
Pemikiran August Comte
Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga
tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat
manusia sebagai keseluruhan.Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau
tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut
meliputi zaman teologis, zaman metafisis dan
zaman positif atau zaman ilmiah.
F. Kesimpulan
Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai
bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir
dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis
dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.
Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat
bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada
dasar-dasar linguistik. Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu
pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta
bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran
spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa.
Perkembangan filsafat pada abad modern ini
ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini
muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang
kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan
BAB IV
FILSAFAT ANALITIKA BAHASA
A. Pengantar
Para filsuf analitik berpendapat bahwa filsuf
Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filsuf terpenting setelah Immanuel
Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode
berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah
logika.
Filsafat analitik atau filsafat linguistik
atau filsafat bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada preferensi filusuf
yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini
sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar
filusuf.
B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa
Filsuf Inggris, Bertrand Russell (1872-1970),
mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya
telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta
atomis (atomic facts).
Bahasa adalah alat yang paling utama bagi
seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena
itu, bahasa sangat sensitif terhadap
kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh
perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya
aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema
filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan analisis terminologi
gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak
ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.
Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh
filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis
konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang
mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan
itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan
kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu
permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki
tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri.
Namun demikian kegiatan para filsuf semacam
itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan
dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh
karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala
sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung
dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat
tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya
masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya
tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:
Kita menyelidiki pengetahuan itu.
Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.
Kita ingin membuat eksplisit kebenaran
pengetahuan itu.
Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat
dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas
(keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran
manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas
filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut
pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan
hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.
Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang
ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama
filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui
bahasa. Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa
berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut
campur dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas.
Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat
sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa
sebagaimana dihadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat
senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa
memiliki peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa
bahasa merupakan laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan
konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran
pikirannya.
Kedudukan filsafat sebagai analisis
konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam
mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka
timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam
masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan
bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf
yang memiliki pandangan yang berbeda.
Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan
bahwa sebenarnya bahasa biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang
sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk
maksud-maksud filsafat atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu
memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian
harus diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan
bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus
atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut
pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya Wittgenstein II)
masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya
penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf dalam
berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu
tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10).
Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan
bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa
memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf
dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan
bahasa filsafat tersebut.
Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang
menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan
masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru
timbul karena bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis filosofis
Karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan
kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan
bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga
ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf
Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas
filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu
kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang
hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian
kita yang terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan
dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya.
Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat
tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh karena ungkapan
filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu memadai dalam
berfilsafat jadi sangat penting sekali.
C. Pengertian Filsafat Bahasa
(Analitik) dan Perkembangannya
Filsafat bahasa adalah ilmu gabungan antara
linguistik dan filsafat. Ilmu ini menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa
sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik.
Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa ideal dan filsafat bahasa
sehari-hari. Kinayati Djojosuroto (2007 : 452) menambahkan bahwa filsafat
bahasa merupakan bidang filsafat khusus yang membahas tentang hakikat bahasa,
unsur-unsur pembentuk bahasa, hubungan bahasa dengan pikiran manusia, hakikat
bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kaitannya dengan kehidupan manusia.
Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya
banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas
dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir
dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan,
kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti
investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Menurut Rudolph
Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax
logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep
dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones
menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti
tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang
dilakukan oleh para filosof analitik.
Dijelaskan pula di dalam kamus populer
filsafat bahwa filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang
berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk
filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang
empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat
diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata,
istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan
adanya analogi).
Filsafat analitik adalah suatu gerakan
filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan
perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep,
ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan
bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau
makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah
pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang
konstektual.
Filsafat analitik sendiri, secara umum,
hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan
analisis bahasa.Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat
fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama
sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.
1. Kosmosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
2. Teosentris yaitu fase
pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat,
yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
3. Antroposentris
yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana
filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
4. Logosentris yaitu fase
perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian
pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang.
Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa
yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia
yang sangat kompleks itu.
Mengenai filsafat analitika bahasa,pada
dasarnya perkembangan filsafat ini meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme
logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya
telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika
Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta.
Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi
arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia
fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia
menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi
‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan
saja, ia mencari prinsip perubahan.
Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini
tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang
tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi,
dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral.
Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan
semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran
universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada
sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran
Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang diletakkan
sebagai objek kajian filsafat.
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke
XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah
yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan
Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan
meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang
struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan
mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan
yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi.
Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga
mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang
ditampilkan.
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar
yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra,
dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia.
Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran
empirisme yang menekankan peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan
manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat
penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa
terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.
D. Atomisme Logis
Atomisme logis merupakan salah satu teori
yang ada dalam aliran filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada
dua filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig Wittgenstein
(1899-1951). Bertran Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan
Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan
diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama.
Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh
Russell dan wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara keduanya. Akan
tetapi jika dilihat dari sudut pandang pendekatannya antara keduanya terdapat
kesamaan yang sangat signifikan.
E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley
Menurut aliran Idealisme bahwa
realitasterdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda
material dan kekuatan.
Menurut pandangan Bradley, metode kau empiris
itu adalah suatu kesalahan. Kaum empiris kurang memperhatikan putusan
(judgements) atau proposisi, dan hal inilah yang menjadi sasran kritik kaum
idealis, dan dalam kenyataannya hal inilah yang merupakan perbedaan yang paling
dalam antara Immanuel Kant dan David Hume.
F. George Edward Moore
Suatu ketahanan dari ”akal sehat (common
sense)” adalah salah satu ide terbesar Moore. Pada dasarnya, Moore
tertarik pada sesuatu yang kita sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa
sebagian besar akal sehat (common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa
kita tahu apa yang kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan akal
sehat. Kebanyakan ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar
dari perdebatan tentang akal sehat. Bagaimanapun, dalam dua hal yaitu bahasa
yang biasa dan dalam filsafat, ada beberapa pernyataan yang keduanya dapat
dibuktikan, dan Moore memandang seperti yang dia kerjakan bahwa penemuan
kebenaran atau kepalsuan dari dalil-dalil termasuk bukan terletak dalam bahasa
yang biasa dan filsafat, tetapi ada pada analisis makna dari dalil-dalil.
Dengan analisis tersebut, Moore berfikir cara yang dapat memperjelas terhadap
pemahaman yang lebih baik terhadap arti kebenaran dan kebenaran dari apa yang
kita katakan dan kita tulis.
Illustrasi : kata-kata ”baik”, ”tahu”,
”nyata” .Kita semua tahu arti kata-kata tersebut dalam keseharian dan sesuatu
yang diterima akal sehat. Moore percaya bahwa kita telah memiliki suatu konsep
tentang ”baik” sudah ada dalam pikiran kita sebelum kita mempergunakannya. ,
akan tetapi mengetahui maksud (atau memiliki konsep) dan menganalisis makna/
maksud adalah dua hal yang berbeda. Menganalisis suatu makna akan membanu kita
memahami secara lebih tepat dan jelas dari makna tersebut , atau dengan kata
lain kita dapat menyebutnya ”kebaikan yang sesuai/ cocok” .
G. Filsafat Atomisme Logis
Betrand Russel
Menurut Russell untuk memahami atomisme logis
kita harus memahami tujuan filsafat terlebih dahulu yang terdiri dari tiga
tujuan yaitu:
a.
Filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan
seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana.
Menurutnya tugas filsafat yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu
khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.
b.
Menghubungkan logika dan matematika. Russel
menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan
jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak
hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.
c.
Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada
dasarnya merupakan titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk
mencari pengetahuan yang benar.
Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut
sangat mempengaruhi seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep
atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan
corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga
landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme
logis.
Bahasa logika menurut Russell akan sangat
membantu terhadap aktivitas analisis bahasa, termasuk Formulasi Logika
Bahasa Dan Prinsip Kesesuaian (Isomorfi). Sebab, ia berkeyakinan
bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu
melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.
Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat
pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang
fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah
pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi
apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan
suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu proses
menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang dengan sendirinya akan
melahirkan pengetahuan yang baru. Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut
dengan pengetahuan sintesis a-posteriori.
Russell menerapkan teknik analisis bahasa
untuk memecahkan problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis
logis daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada
fakta-fakta yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang
universal. Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan
melalui analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan
sifat-sifat yang universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa
Russell hendak menyusun atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika.
Dengan bahasa logika itulah ia melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa
filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau
proposisi atomis.
Russell memandang proposisi sebagai suatu
simbol-simbol yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan
bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah
fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan (nama)
yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun
demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian ini. Hal ini karena struktur
bahasa keseharian bisa jadi salah dan ini merupakan salah satu tugas dari
bahasanya. Russell meminta teorinya tentang deringkasan merupakan pelaksanaan
paradigmatis dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif
merupakan simbol-simbol yang tidak sempurna yang kegunaannya tidak bergantung
pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah dari
bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat
maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang logis seseorang bisa
mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar sederhana dengan mana dunia
dibangun.
H. Atomisme Logis Ludwig
Wittgenstein
Kata Atom mempunyai arti “benda terkecil,
satuan bangunan yang tidak dapat dimusnahkan”(Aristoteles). Kata Atomisme
merupakan turunan dari kata Yunani Atomos yang berarti tidak dapat
dipenggal, A adalah tidak sedangkan Tomos merupakan sekawanan
dari bahasa Yunani Themnein yang artinya memenggal. Atomisme
Logis, merupakan suatu faham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu
dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi- proposisi
elementer, melalui teknik analisa logik atau analisa bahasa. Setiap proposisi
atomik atau proposisi elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan
keperibadian suatu fakta atomik yaitu bagian terkecil dari realitas. Dengan
pandangan yang demikian itu, kaum Atomisme Logis bermaksud menunjukkan adanya
hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas
Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina
Austria yang merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat
cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell mengakuinya sebagai murid
dari Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara Russell
dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang
intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.
Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal
yang mirip dengan logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya sama-sama
berasumsi bahwa analisis yang logis dari bahasa harus menjelaskan unsur pokok
atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein tidak mencurahkan perhatiannya
terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita tentang atom sebagai unsur
pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan batas-batas bahasa itu
sendiri.
Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar
realitas yang logis yakni dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah
wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap ekstrim yang
berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat statemen-statemen yang
sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya untuk kebenaran. Jika
proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas empirik, maka
persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata nilai, tentang makna
dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah wacana yang signifikan.
1.
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II
Setelah karyanya Tractatus Logico
Philosophicus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali
ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan
ceramah sehingga beberapa kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya
beliau. Ia juga sedang mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua
Philosophical Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian
pertama buku tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh
Wittgenstein, sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang
berbeda dan diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees.
Kedua murid inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical
Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya
filsafat yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya
filsafat lainnya termasuk Tractatus. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan
tanpa memberikan nomor pada setiap paragrafnya.
Karya kedua ini dikembangkan dengan orientasi
dasar analisis baru sehingga dalam berbagai uraiannya ia mengkritik beberapa
tesis dalam karya pertama terutama yang berkaitan dengan ide utopisnya tentang
bahasa ideal yang sarat dengan formulasi logika. Melalui Philosophical
Investigations, Wittgenstein mengembangkan paradigma baru dalam filsafat
analitik yang mendasarkan analisis pada ordinary language yaitu
dengan menekankan aspek-aspek permainan bahasa (language game). Dalam hal
ini, filsafat analitis menyesuaikan diri dengan pandangan yang menekankan bahwa
bahasa memiliki keanekaragaman bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia
sehingga penggunaan bahasa dikondisikan oleh aturan penggunaannya. Atas dasar
ini, tidak mengherankan jika karya Philosophical Investigations memuat
banyak contoh konkret, praktis, riil dan kadang imajiner dengan intensi dasar
agar pembaca dapat memahami makna bahasa dalam keanekaragaman bentuk
penggunaannya. Dalam karya ini, Wittgenstein menepis adanya bahasa universal
yaitu sebuah bahasa yang merangkum segala bahasa berdasarkan aturan-aturan
logika. Sebagai gantinya mengembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private
language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Karena
itu dalam karya ini, Wittgenstein tidak memungkiri bahasa metafisis, teologi
dan etika tetapi menegaskan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan salah satu
dari ragam bahasa yang khusus: salah satu model permainan bahasa dalam
kehidupan manusia.
Dalam bagian ini, penulis ingin menyajikan
beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya
keduanya ini. Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir
untuk mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap
karya periode pertamanya.
2. Permainan Bahasa (language games)
Permainan bahasa merupakan konsep yang
fundamental dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori
gambar dalam Tractatus Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka
kabut kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa
penyelidikan filosofis mesti dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam
kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu.
Hal ini diyakini karena pada suatu kalimat yang sama dapat memiliki
kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda tergantung pada apa yang sedang
dikerjakan dan dalam konteks apa kalimat itu dipergunakan.
Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang
menyatakan bahwa setiap penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri.
Misalnya, perintah untuk “membawa lima buah papan” berbeda dengan laporan
“membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat “membawa lima buah papan” pada
analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks penggunaan bahasa
yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang berbeda-beda. Wittgenstein
berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa bahkan tak terhitung
jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks misalnya
melaporkan suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan
aneka bentuk permainan bahasa lainnya.
Wittgenstein mengawali deringkasannya tentang
permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan
bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan bahasa merupakan sebuah
proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak, karena itu
Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara
lebih luas Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa
dalam konteks kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata
permainan bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu.
Dengan kata lain, bahasa adalah penampakan dari permainan bahasa.
Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa
yang tidak dapat diprediksi karena permainan bahasa bersifat spasio-temporal
(dikondisikan oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam permainan bahasa
tidak ada satu norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap ragam
penggunaan walaupun untuk ragam penggunaan yang sama. Misalnya pada ragam
bahasa perintah pada dua peristiwa yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa
pada permainan bahasa dalam ragam perintah yang satu berbeda dari permainan
bahasa dalam ragam perintah yang lain. Perintah pada saat sekarang bisa berarti
mubazir pada masa yang akan datang. Perintah pada waktu lampau bisa jadi tidak
lagi aktual untuk dilaksanakan pada masa sekarang. Karena itu permainan bahasa
itu bersifat unik, dinamis, tidak tetap (mutable) dan sesuai konteks (follow
the situations).
Kendatipun demikian, hal itu tidak berarti
bahwa permainan bahasa tidak memiliki karakter normatif. Justru sebaliknya term
”permainan bahasa” merujuk pada aturan-aturan tertentu dalam bahasa yang diacu
oleh setiap pengguna bahasa yang berbeda-beda. Wittgenstein mengatakan: ”Suatu
permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan. Dalam suatu permainan catur
jika sudah ditentukan bahwa ”raja” memegang peranan yang sangat penting, maka
ketentuan itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah
kita dapat melanggar aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran
itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya
tentang aturan permainan itu. Mungkin kita tidak memahami aturan tersebut secara
baik sehiingga mengerti salah petunjuk yang menggariskan agar kita berpikir
tiga langkah ke depan sebelum menggerakkan setiap buah catur. Jikalau kita
menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, kita tentu akan merasa
kagum dan memahami maksud dan tujuan suatu aturan. Analogi di atas menunjukkan
bahwa dalam berbagai macam permainan bahasa terdapat aturan main tersendiri
yang dijadikan pedoman dalam permainan tersebut. Aturan main ini berlaku secara
spesifik karena itu tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain karena
penerapan aturan main yang satu kepada aturan main yang lain akan menimbulkan
kekacauan dalam berbahasa. Misalnya aturan main dalam ragam bahasa santai tidak
dapat dimasukkan sebagai ragam yang sah dari penulisan ilmiah. Oleh karena itu,
mustahil bilamana kita menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum
berlaku dalam setiap konteks kehidupan. Sebaliknya, bahasa akan memiliki makna
jika mampu mencerminkan aturan-aturan yang terdapat dalam setiap konteks
penggunaannya yang sifatnya beraneka ragam dan tidak terbatas.
Wittgenstein mengatakan bahwa permainan
bahasa bersifat unik, berbeda-beda dan tidak tercampurbaurkan tidak dengan
sendirinya memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat menjembatani beberapa
permainan bahasa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan adanya
penggunaan kata atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang
berbeda-beda. Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan
keluarga (family resemblance). Ia mengatakan: Saya kira tidak ada ungkapan yang
lebih sesuai untuk mengungkapkan kesamaan ini selain aneka kemiripan keluarga.
Aneka kemiripan di antara anggota keluarga itu terlihat pada bentuk,
penampakan, warna mata, sikap, temperamennya dan lain sebagainya. Walaupun
nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan hal ini sebagai
bentuk permainan bahasa dalam sebuah keluarga. Dalam hal ini penggunaan
kata atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti
memiliki makna yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat
umum. Selain itu, dalam ragam bahasa yang sama meskipun memiliki arti yang
berbeda dapat dilihat adanya suatu kemiripan yang menjadi pola umum dari ragam
bahasa tersebut. Misalnya, pada ragam bahasa berdoa selalu ditutup dengan kata
”amin” atau dalam ragam bahasa doa permohonan ditemui sebuah kemiripan nada
memohon meskipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda untuk tujuan yang
berbeda. Dalam gagasan permainan bahasa, terdapat beberapa pokok pengertian
yang dapat diambil dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut:
Pertama, ada banyak permainan bahasa akan tetapi
tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa tersebut.
Esensi setiap permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan lainnya
tergantung pada konteks penggunaannya. Namun demikian di antara
permainan-permainan ini dikenal adanya suatu kemiripan.
Kedua, karena permainan bahasa ini tidak memiliki
satu hakikat yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan batas-batas
permainan dengan secara tepat mengenai permainan tersebut. Kita hanya dapat
mengetahui kemiripan bukannya kesamaan dari berbagai permainan bahasa karena
batas-batasnya.
Ketiga, meskipun orang tidak tahu persis sebuah
permainan bahasa, namun dapat diketahui apa yang dapat dibuat dengan sebuah
permainan itu. Permainan memang sebuah konsep yang sangat halus dan sulit untuk
didefinisikan, sehingga sulit untuk dijelaskan dengan tuntas tentang permainan
tersebut. Mengingat hal tersebut maka yang dapat dilakukan adalah memberikan
deringkasan atau contoh-contoh. Dengan deringkasan dan contoh-contoh
tersebut akan membantu dalam pemaknaan suatu bahasa.
3. Kritik terhadap Filsafat Ludwig Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein,
khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat
besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat
meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan
yang penting diajukan dalam studi ini.
Pertama, peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam
“ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage”
(penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language
game Wittgenstein tentang pentingnya untuk membangun batasan yang ketat
antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian
sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and supply)
adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard
tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya
masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam
penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku
sesuai disiplinnya,maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa. Jadi, Ryle
melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti
pada batas konteks penggunannya, dengan menambahkan kategorisasi tata
penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber
pada penggunaan bahasa biasa.
Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa
niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg
Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya
merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia
sebagai sebuah Ada.“Pemahaman” (atau “mengerti”) harus dipandang sebagai sikap
fundamental untuk “mengerti” cara berada manusia sendiri.[20] Itulah sebabnya makna sebuah kata atau
bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu
sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri;
kata-kata selalu mengandung makna yang penuh, dan merupakan makna utuh bagi
yang membangunnya.Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung
kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.
I. Kesimpulan
Filsafat analitik adalah suatu gerakan
filosof Abad ke-20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan
perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan
(konsep-konsep, ungkapan-ungkapan k nnebahasaan
atau bentuk-bentuk yang logis)
BAB V
HAKIKAT
BAHASA DALAM HERMENEUTIKA
Konsep Dasar Hermeneutika
Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami
apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya,
diperlukan konsep kuno yang bernama “kata batin” – inner word.
Hermenetika, yang dalam bahasa Inggrisnya
adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneutine dan hermeneia
yang masing – masing berarti “menafsirkan dan “ penafsiran”.
Istilah did dapat dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias
(Tentang Penafsiran). Hermeneutica juga bermuatan pandangan hidup dari
penggagasnya.
Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika
diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi
Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam
bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata
(Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Tiga makna hermeneutis yang mendasar yaitu :
1.
Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih
dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian.
2.
Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum
masih samar- samar sehingga maknanya dapat dimengerti
3.
Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke
dalam bahasa lain.
Tiga pengertian tersebut terangkum dalam
pengertian ”menafsirkan” – interpreting, understanding.
Dengan demikian hermeneutika merupakan proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain,
hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari
arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan
masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan.
Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah
ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan
kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus
mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Semula hermeneutika berkembang di kalangan
gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegegis (penafsiran teks-teks agama) dan
kemudia berkembang menjadi filsafat penafsiran.
Sebagai sebuah metode penafsiran,
hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan
penafsiran yakni teks, konteks dan kontekstualisasi.
Dengan demikian setidaknya terdapat tiga
pemahaman mengenai hermeneutika yakni :
[if
!supportLists]1. [endif]Sebagai teknik praksis
pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi
pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang
sesuatu agar dapat dipahami.
[if
!supportLists]2. [endif]Sebagai sebuah metode
penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran.
Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan
untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks.
[if
!supportLists]3. [endif]Sebagai penafsiran
fisafat.
[if !supportLists]B.
[endif]Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab
objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai
dengan cara pandang subjek.
Untuk dapat membuat interpretasi, lebih
dahulu harus memahami atau mengerti. Mengerti dan interpretasi
menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan
dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.
Hukum Betti tentang interpretasi”Sensus
non est inferendus sed efferendus” makna bukan diambil dari kesimpulan
tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi
merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Penagalam
masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang
dimiliki.
C. Bahasa Sebagai Pusat
Kajian
Karena objek utama hermeneutika adalah teks
dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika
dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat.
Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics
dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding.
Menurut folosof bahasa Wittgenstein “ Batas
bahasaku adalah batas duniaku”. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa
tutur, yang kemudian disusl bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian
bahasa tutur.
D. Hermeneutika Dalam
Pandangan Filosofi
Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika sebagai metode interpretasi dan
menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutka.
Hermeneutika adalah sebuah teori tentang
penjabaran dan interpretasi teks mengani konsep-konsep tradisional kitab suci
dan dogma.
Makna bukan sekedar isyarat yang dibawa oleh
bahasa, sebab bahasa dapat mengungkakan sebuah realitas dengan jelas, tetapi
pada saat yang sama dapat menyembunyikan rapat-rapat.
Schleiermacher menawarkan sebuah metode
rekonstruksi histories, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan,
membahas dengan bahasa secara keseluruhan.
Tugas utama hermeneutika adalah memahami teks
sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami
pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.
Model hermeneutika Schleiermacher meliputi
dua hal :
Pemahaman teks melalui penguasaan terhadap
aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang sehingga menggunakan pendekatan
linguistic.
Penangkapan muatan emosional dan batiniah
pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsir ke dalam dunia batin
pengarang.
Dengan demikian, terdapat makna autentik dari
sebuah teks, sebua teks tidak mungkin bertujuan (telos).
Wilhelm Dilthey
Hermeneutika pada dasarnya bersifat
menyejarah, makna tidak pernah berhenti pada satu masa, tetapi selalu berubah
menurut modifikasi sejarah.
Martin Heidgger
Pemikiran filsafat Heidgger meliputi dua
periode sebagai berikut :
Periode 1 meliputi hakikat tentang “ada” dan
“waktu”. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang
“ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja ada,
melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
Periode 2 Menjelaskan pengertian”kehre” yang
berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli.
Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia
bukanlah pengauasa atas apa yang ”ada” melainkan sebagai penjaga padanya.
Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan
dan memperoleh informasi. Bahas pada hakikatnya adalah”bahasa hakikat” artinya
berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons dan bukan manipulasi ide
yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya
sebagai alat belaka. Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada
fakta atau perbuatan. Bahasa adalah tempat tinggal ” sang ada”. Bahasa
merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah
diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal, sehingga menjadi semacam
substansi dan pengaaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya
dalam bahasa. Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang
kosong tanpa kehidupan.
Pemahaman teks terletak pada kegiatan
mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan
bahasa.
Bahasa adalah suatu proses, suatu dinamika,
atau suatu gerakan.
[if !supportLists]4.
[endif]Hans-Georg Gadamer
Konsep Gadamer yang menonjol dalam
hermeneutika adalah menekankan apa yang dimaksud ”mengerti”. Lingkaran
hermeneutika – hermeneutic circle , bagian teks disa dipahami lewat
keseluruhan teks hanya bisa dipahami lewat bagian- bagiannya.
Setiap pemahaman merupakan sesuatu yang
bersifat historis, dialetik dan peristiwa kabahasaan. Hermeneutika adalah
ontologi dan fenomologi pemahaman.
[if !supportLists]5.
[endif]Jurgen Habermas
Hermeneutika bertujuan untuk memahami proses
pemahaman – understanding the process of understanding.
Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman
dan pnegertian teoritis berpadu menjadi satu.
Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna
sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Bahasa sebagai unsur fundamental dalam
hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan
simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.
[if !supportLists]6.
[endif]Paul Ricoeur
Teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan
tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks ada tiga macam sebagai
berikut :
[if !supportLists]ü [endif]Intensi atau
maksud pengarang.
[if !supportLists]ü [endif]Situasi
kultural dan kondisi sosial pengadaan teks.
[if !supportLists]ü [endif]Untuk siapa
teks dimaksud.
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya
kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif
pengarang ataupub orang lain.
Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai
tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpreter” telah berbaur menjadi
satu.
[if !supportLists]7.
[endif]Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa dalam kaitan dengan
hermeneutika, membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat
arbitrer. Bahasa menurut kodartnya adalah ”tulis”Objek timbul dalam
jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”. Segala
sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang
melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.
E. Beberapa Kaidah Hermeneutika
Dibutuhkan keterlibatan dan atau partisipasi
Setiap usaha penafsiran, tidak bisa dihindari
adanya akibat ikutan dari partisipasi dan latar belakang penafsi.
Upaya penafsiran harus dilihat sebagao proses
pendekatan – approximation kepada makna sejati.
Walaupun ada wilayah perbedaan karena
partisipasi dan latar belakang penafsir, niscaya ada pula wilayah yang
mempertemukan atar penafsir, pamahaman bersama – shared understanding,
mutual understanding yang melahirkan cross cutting affiiation.
Peran Hermeneutika Terhadap Martabat Manusia
Manusia selain sebagai makhluk yang berpikir
– hayawan al-natiq, hewan yang berpikir, disebut juga sebagai animalsymbolicum,
makhluk yang senantiasa bergulat dengan simbol.
Hermeneutika memilki tanggungjawab utama
dalam menyingkap dan menampilkan makna yang ada di balik simbol-simbol yang
menjadi objeknya.
Filsafat hermeneutika berkembang dengan dua
aliran pemikiran yang berlawanan yakni pragmatika intensionalisme dan hermeneutika
gadamerian.
Intensionalisme memandang bahwa makna sudah
ada karena dibawa oleh penyusun teks-pengarang sehingga tinggal menunggu
interpretasi penafsir dan makna berada di beakang teks-behind the teks.
Hermeneutika gadamerian memandang bahwa makna
harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh penafsir itu sendiri sesuai
konteksnya, sehingga makna berada di depan teks – in front of the text.
G. Beberapa Varian
Hermeneutika
Hermeunitka Romantis
Dengan tokoh Friedrich Ernst Daniel
Schleiermacher, bapak hermeneutka
Makna hermeuneutika berubah dari sekedar
kajian teleologis – teks bible menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.
Bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia
terjadi.
Dua teori pemahaman pertama pemahaman
ketatabahasaan – grammayical understanding, terhadap semua ekspresi, kedua
pemahaman psikologis terhadap pengarang – dikembangkan menjadi intuitive
understanding yang operasionalisasi merupakan rekonstruksi – merekonstruksi
pikiran pengarang.
Tujuan pemahaman lebih merupakan makna yang
muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkonstruksi.
Tidak hanya melibatkan pemahaman konteks
kesejarahan dan budaya pengarang tetapi juga pemahaman terhadap subjektivitas
pengarang.
Ada lima unsur dalam pemahaman penafsir,
teks, ,aksud pengarang, konteks historis dan konteks kultural.Hasil
interpretasi akan lebih baik jika penafsir mengatahui latar belakang sejarah
pengarang teks.
Interpretasi
Interpretasi adaah proses memperantarai dan
menyampaikan pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas.
Interpretator ádalah jurubahasa, penerjemah pesan realitas, pesan yang
tidak segera jelas, tidak segera dapat diartikulasikan, yang sering diliputi
misteri, yang dapat diungkap hanya sekelumit demi sekelumit, tahap demi tahap.
Proses memperantarai dan menyampaikan pesan
agar dapat dipahami mencakup tiga arti yang terungkap di dalam tiga kata Kerja
yang saling berkaitan satu dengan yang lain
Interpretasi adalah mengkatakan
Interpretasi berfungsi menunjuk arti,
mengkatakan, menuturkan, mengungkapkan, membiarkan tampak, membukakan sesuatu
yang merupakan pesan realitas.
Metode yang digunakan adalah yang
memungkinkan realitas memberita, mengkatakan dirinya, jauh dari segala distorsi
dan disonansi.
Ukuran kebenaran interpretasi adalah manakala
interpretasi bertumbuh, berasuh pada evidensi-evidensi objektif, pada hal-hal
yang memang sesungguhnya dapat diidentifikasi merupakan kata realitas, terbukti
dapat dikenali terdapat di dalam realitas itu sendiri.
Dengan demikian berpikir yang benar-benar
berpikir dan semua serta setaip berpikir adalah interperatsi, bukanlah monolog,
melainkan dialog. Dan dialog adalah proses, maka kejernihan pandangan yang
dicapai, kebenaran yang diperoleh, pesan realitas yang terartikulasikan,
memberitakan realitas tidak seketika fina, tidakseketika habis selesai, tetapi
juga sesuatu proses. Maka interpretasi bercirikan senantiasa siap dikoreksi lagi
dan lagi dikoreksi dan senantiasa merukuskan kembali segalanya yang memang
harus dirumuskan kembali.
[if !supportLists]2.
[endif]Interpretasi sebagai menerangkan.
Dimensi ”menerangkan” dari interpretasi
adalah sesuatu dibuat terang. Kegiatan interpretasi dilaksanakan dengan
memasukkan faktor luar, seperti misalnya menunjuk arti teks yang lebih tua,
menunjuk peristiwa yang de facto meliputi, menggelimangi bukan sekedar
melatarbelakangi teks.
Hal ini tidak berarti bahwa suatu teks
senantiasa dijelaskan lewat data diluar teks. Data dari luar hanya relevan
manakala dan sejauh pengaruh data tersebut dikenali sebagai terdapat dalam
teks. Pengetahuan tentang data dapat membantu memahami teks secara lebih baik.
Dimensi interpretasi ini menunjukkan bahwa
arti adalah masalah konteks. Karenanya, seluruh kegiatan ditujukan untuk
menyediakan ruang pemahaman. Teks tidak begitu saja dpat dipahami, dibutuhkan
siatuasi pemahaman agar dua cakrawala bertemu, yakni bilamana interpretator
dapat melangkah masuk ke dalam lingkaran interpretasi dan cakrawala teks yang
ada.
Interpretasi sebagai menerjemahkan
Di dalam bahasa Jerman dipakai istilah
Ubersetzen yang berarti menyebrangi sungai dari tepi satu ke tepi yang lain
dengan ferry. Tugas interpretasi sebagai ”memindahkan” arti seperti memindahkan
arti teks kuno ke dalam kehidupan manusia modern sehingga yang terlihat bukan
lagi comedia errorum atau macam-macam hal yang tidak cocok bagi telinga
sezaman. Dua cakrawala berhadapan. Menerjemahkan bukan sekedar
mengganti yang ada, tanpa menangkap inti isinya, pesan yang disampaikan.
Sedangkan menangkap pesan adalah masalah memasuki cakrawala, fusi cakrawala.
Kesimpulan
Hermeneutik adalah suatu metode atau cara untuk
menafsirkan teks untuk dicari arti dan maknanya, di mana metode hermeneutik ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang.
Dalam sejarahnya, konsep hermeneutika pertama kali
ditemukan pada zaman yunani kuno. hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya
Plato (429-347 SM). Dalam Definitione, Plato dengan jelas menyatakan
hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus, Plato mengaitkan
hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Baru pada 300 SM, Stoicisme kemudian
mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
3. [endif]Pokok-pokok
pemikiran Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
Hermeneutika adalah seni pemahaman komunikasi
verbal - sebagai kontras, tidak disamakan, dengan memberi penjelasan,
menerapkan, atau menerjemahkannya.
Hermeneutika harus menjadi disiplin universal -
satu yaitu yang berlaku sama untuk semua bidang subyek-(misalnya hukum,
Alkitab, dan sastra), untuk lisan serta bahasa tulis, untuk teks modern serta
kuno, untuk karya dalam bahasa sendiri serta karya-karya dalam bahasa asing,
dan sebagainya.
Secara khusus, interpretasi dari teks-teks suci seperti
Alkitab termasuk di dalamnya - ini tidak dapat mengandalkan pada
prinsip-prinsip khusus, seperti inspirasi ilahi (baik penulis
atau penerjemah).
penafsiran yang tepat dari teks dimulai, penafsir harus
mendapatkan pengetahuan yang baik tentang konteks historis teks itu.
Pokok-pokok pemikiran M. Heidegger ialah
Fenomenologi Sebagai Hermeneutik, Hakikat Pemahaman, Dunia dan Hubungan kita
dengan Obyek di Dunia, Kebermaknaan Pra-Predikatif, Pemahaman, dan
Interpretasi, dan Kemustahilan ketiadaan Pra-asumsi Interpretasi. Sedangkan
Pokok-Pokok Hermeneutika Gadamer, estetika, historikalitas pemahaman, dan
menganalisis bahasa. Hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman
eksistensial. Pada titik inilah hermeneutika memasuki wilayah ontologis.
Hermeneutika menjadi instrumen pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein
yang menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini
pada akhirnya dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada linguistik.
Dari uraian diatas bisa dipahami
bahwa pada awalnya hermeneutika sebagai teori memahami tekstulis atau
kitab suci, kemudian mendapat perluasan objek, yaitu ‘teks’ kehidupan sosial. Hal
ini mereka maksudkan untuk melakukan terobosan metodologi baru dalam ilmu-ilmu
sosial atas hegemoni paradigmapositivisme.
Hermenetika berasal dari kata Yunani : hermeneuein artinya
“tafsiran”. Dalam tradisi Yunani kuna kata hermeneuein dipakai
dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan
menerjemahkan (to translate).
Dalam
perkembangannya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan salah satunya
sebagai pendekatan dalam ilmu-lmu sosial. Dengan demikian pembahasan hermeneutika
pada umumnya merupakan problem filsafat ilmu bukan problem metafisika
yang mempersoalkan realitas. Melainkan cara pandang untuk memahami realitas,
terutama realitas sosial, seperti ‘teks’ sejarah dan tradisi.
Sebuah
dikotomi yang berupa metod eerklaren dan metode verstehen.
Metode erklaren adalah metode khas
positivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa
‘perilaku’ alam menurut hukum sebab – akibat, sedangkan metode verstehen yaitu
pemahaman subjektif atas makna tindakan – tindakan sosial, dengan cara
menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial.
Salah
satu Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas
hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia
menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger
dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya.
Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami
teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri.
Gadamer
merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Kedua,
situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Ketiga,
setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan
horizon teks. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan
“makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks.
BAB VI
HAKIKAT BAHASA SEBAGAI
DASAR FILSAFAT
TEORI BAHASA
[if !supportLists]A. [endif]Bahasa
Sebagai Substansi
Problema filosofis tentang hakikat bahasa telah
muncul sejak zaman Yunani, yaitu dengan munculnya pandangan dikotomis
antara fisei dan nomos. Kaum fisei
berpandangan bahwa hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki
hubungan dengan asal usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi. Sehingga dalam
pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang
bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologis tidak
dibentuk oleh manusia namun ditentukan oleh alam, atau dengan pengertian lain
terjadi secara alamiah. Kaum nomos atau yang dikenal dengan kaum konfensionalis
menyatakan bahwa hakikat bahasa adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat.
Maka secara ontologis substansi bahasa itu ada karena diciptakan oleh
masyarakat atau ditentukan oleh tradisi dalam masyarakat.
Menurut teori bahasa modern bahwa substansi
bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang
bersifat bunyi ujaran, sehingga dapat diindra manusia, dapat didengar dan
dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan
suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka
pengertian substansi bahasa ini harus dibedakan antara: (1) Substansi
bahasa sebagai sistem tanda, yang kualitasnya berupa sistem bunyi,
tanda maupun lambang-lambang. Maka sistem fonem yang mengacu pada sesuatu
adalah merupakan substansi bahasa dalam pengertian yang pertama ini. Substansi
bahasa dalam pengertian ini sebagai dasar pengembangan di bidang fonologi.
(2) Substansi bahasa yang merupakan acuan dari bahasa, atau suatu
substasi bahasa yang merupakan petanda I yaitu substansi benda-benda,
konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Untuk mempermudah
pemahaman hakikat substansi bahasa pada linguistic modern, maka perlu dipahami
konsep hakikat struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure.
Bahasa menurut Saussure pada intinya
merupakan suatu sistem tanda. Tanda-tanda itu tidak langsung mengacu pada
sekian banyak benda dalam realitas. Makna tidak ditentukan oleh hakikat benda
yang diacu, tapi oleh perbedaan di antara satuan penanda dan petanda dengan
sesamanya. Tanda adalah gabungan dari dua unsur, suatu unsur material, yaitu
bunyi tertentu dalam bahasa lisan, coretan grafis dalam bahasa tulis, dan suatu
unsur mental, yaitu konsep. Kedua unsur itu tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Hubungan antar unsur-unsur itu berada dalam aturan tertentu. Karena itu
penutur harus tunduk pada aturan itu. Aturan yang menentukan hubungan antara
berbagai unsur bahasa tidak mempunyai kaitan langsung dengan hubungan yang
terdapat antara benda-benda dalam realitas.
Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure
bercirikan adanya hubungan yang erat antara significant, yaitu
gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para
pemakainya, signifie, yaitu gambaran makna secraa abstrak
sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan
dunia luar, form, yaitu kaidah abstrak yang mengatur hubungan
antara butir-butir abstraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi,
serta substance, yaitu perwujudan bunyi ujaran khas manusia.
Substansi bahasa dalam pengertian pertama, adalah berkaitan dengan substance, yaitu
merupakan perwujudan bunyi ujaran khas manusia dan dalam pengembangan
teori-teori bahasa dibahas dalam bidang fonologi, yaitu membahas sistem bunyi
ujaran dalam bahasa.
[if !supportLists]1.
[endif]Substansi – Ekspresi
Unsur-unsur substansi – ekspresi sebagai
aspek kuantitas bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia dan
merupakan ekspresi pikiran, perasaan serta emosi manusia.
Dasar-dasar inilah yang merupakan sumber
epistemologis pengembangan ilmu bahasa terutama dalam bidang teori bunyi bahasa
yaitu bidang fonologi. Bahkan pada tingkatan tertentu meletakkan substansi
sistem tanda bahasa ini sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, sehingga banyak
teori bahasa yang mengembangkan bahasa berdasarkan pada teori fonetik. Teori
ini menganggap bahwa bahasa timbul baik ditinjau dari segala gejala fisik yang
berkaitan dengan fonetik akustik. Demikian juga substansi-
ekspresi ini juga ditinjau dari aspek fisiologi, yaitu bagaimana terjadinya
bunyi ujaran atau sering disebut fonetik artikulasi.
Beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa
bunyi dari suatu ungkapan atau ekspresi adalah merupakan dasar suatu bahasa,
sehingga mereka membuat suatu deskripsi yang mendalam tentang sistem bunyi
tersebut. Hakitat bahasa sebagai substansi ekspresi pada intinya bahwa
substansi bahasa berupa sistem bunyi yang merupakan dasar ontologis utama bagi
deskripsi bahasa.
Substansi – Isi
Teori-teori bahasa modern tentang bahasa
lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Kata yang merupakan bagian
terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsure sistem tanda. Kata adalah
penanda suatu realitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu sendiri, atau
menurut istilah Saussure harus dibedakan antara signifiant sebagai
ekspresi lewat sistem lambang dengan signifie yang
merupakan aspek semantik lambang yang berkaitan dengan sesuatu acuan baik
berupa benda, binatang, manusia, nilai maupun konsep. Sistem relasional antara
aspek substansi bahasa tersebut yang merupakan substansi-isi. Oleh karena itu
teori bahasa modern membedakan kedua aspek tersebut dalam sistem lambang
bahasa.
Berlawanan dengan konsep bahasa modern,
menurut paham tradisionalisme, secara ontologis hakikat bahasa bukanlah
substansi-isi, melainkan isi-substansi. Menurut paham tradisionalisme bahwa
secara ontologism pikiran menentukan sistem lambang bahasa, sehingga menurut
tradisionalisme kata-kata memiliki kesepadanan dengan pikiran. Makna kata-kata
atau ungkapan bahasa pada hakikatnya berasal dari konsep mental manusia yang
menyeluruh, sehingga sistem bahasa ditentukan oleh sistem kaidah pikiran.
Sehingga sistem ilmu bahasa logis mendasarkan pada analisis bahasa yang
menekankan pasa isi-substansi. Akibatnya deskripsi sistem bunyi ujaran bahasa
tidak didasarkan pada struktur sistem bunyi ujaran secara empiris melainkan
merupakan suatu pemaparan ejaan bahasa sehingga tidak mendasarkan pada analisis
bahasa secara empiris.
Bahasa Sebagai Bentuk
Teori-teori kebahasaan ynag terkenal pada
abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa
pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu substansi, namun bahasa adalah
merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain
tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa bukanlah merupakan suatu
substansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak
dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Demikian
juga bahasa bukan merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui
bunyi ujaran bahasa. Pemikiran ini dikembangkan oleh paham strukturalisme yang
ekstrem antara lain strukturalisme bahasa yang berkembang di Amerika di bawah
Bloomfield yang sebenarnya keduanya berakar pada konsep pemikiran Ferdinand de
Saussure. Pengertian bahasa sebagai bentuk meliputi tiga hal yaitu:
Bentuk-Isi
Konsep pemikiran ini mendasarkan pada suatu
pengertian bahwa bahasa adalah sebagai bentuk simbiolis yang bediri sendiri.
Bahasa menurut paham ini dianggap semata-mata sebagai hasil penyusunan pikiran
manusia. Menurut paham ini bahasa dipandangnya sebagai bentuk mental yang
berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-bentuk simbiolis yang lainnya seperti
insting dan pikiran ilmiah.
Teori ini memang lebih menekankan pada bentuk
mental dan bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti
empiris yang dapat disentuh dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih
menekankan pada keterpisahan bentuk mental bahasa dari aspek-aspek lainnya.
Oleh karena secara ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh
hakikat bahasa sebagai bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang
berupa bunyi ujaran bahasa ditentukan oleh bentuk mental bahasa. Konsekuensinya
struktur empiris bahasa yang berupa eksistensi bunyi ujaran bahasa yang tidak
mendapat tempat, sehingga pengembangan pada teori-teori bahasa akan menghadapi
kesulitan besar yaitu substansi empiris bahasa sulit dikembangkan secara
sistematis. Pemikiran bahasa seperti ini sangat lemah dalam menentukan dasar
epistemology teori bahasa sehingga analisis bahasa juga akan menghadapi
kesulitan dalam menentukan kebenaran sebagai dasar pijak teori bahasa.
[endif]Bentuk-Ekspresi
Hakikat bahasa yang menekankan pada segi
bentuk-ekspresi ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut
strukturialisme yang radikal, dalam arti mereka ingin membangun bahasa di atas
substansi yang bersifat empiris. Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa
secara ontologis berdasarkan realitas empiris dari bahasa, terutama berkaitan
dengan struktur empiris bahasa yang merupakan sistem menyeluruh dan dapat
berdiri sendiri.
Teori bahasa mendahulukan analisis struktural
empiris sebagai dasar epistemologis ilmu bahasa. Bahasa harus dapat dinyatakan
secara sistematis dan empiris untuk menemukan suatu kebenaran yang objektif.
Oleh karena bahasa secara struktural harus dapat dinyatakan secara fisik maka
analisis bunyi-bunyi ujaran bahasa menempati prioritas utama, karena
bunyi-bunyi bahasa merupakan fenomena yang dapat diamati secara langsung.
Bahasa pada hakikatnya terdiri atas urutan-urutan morfem yang juga terdiri atas
urutan fonem. Menurut Bloomfield fonem-fonem itu dapat didefinisikan secara
fisik.
Kaum strukturalis terutama Bloomfield dalam
mengembangkan teorinya ia menyingkirkan unsur pikiran, mental, benda, maupun
nilai dari hakikat realitas bahasa. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran
bahwa bahasa tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah ilmu jiwa,
fisiologi maupun aksiologi. Bahasa pada hakikatnya adalah bentuk-isi, hal ini
berarti bahwa realitas bahasa adalah struktur empiris yang dapat diamati oleh
indra manusia, baru struktur menentukan makna bahasa yang merupakan ekspresi.
Arti menurut kaum strukturalis tidak dapat dianalisis lewat linguistik, karena
totalitas ujaran yang mengandung makna haruslah merupakan suatu kebenaran yang
mempunyai pengertian (makna), adapun kebenaran digunakan dalam arti pragmatis.
Kaum strukturalis melakukan analisis bahasa berdasarkan strukturnya (bentuknya)
dan bukan berdasarkan arti.
Isi dan Ekspresi
Sejumlah teori bahasa yang lebih lengkap
tidak membatasi ruangnya pada masalah ekspresi atau isi, melainkan meliputi
keduanya. Teori tersebut mengetengahkan hubungan yan erat antara ekspresi bahasa
dengan apa yang dimaksudkan dengan ekspresi tersebut.
Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang
merupakan isi dan ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pandangan ontologis
tersebut berakar pada linguistik struktural Saussure.
Dalam konsep linguistik ini Saussure
membedakan atas koda atau sistem (langue)dari pemakaian dalam
pembicaraan (parole). Menurut Saussure objek linguistik ialah
studi tentang koda (langue) yang sesungguhnya merupakan aspek
yang meliputi ‘yang ditandai’(signified) dan ‘penanda’ atau (signifier), dan
bukan substansinya. Bentuk pikiran dan bentuk bunyi tidak berhubungan
dengan linguistik. Bahasa tidak terdiri atas ide ataupun bunyi, melainkan
perbedaan-perbedaan konsep dan suara. Substansi isi dan substansi ekspresi
betul-betul bersifat arbitrer, demikian juga hubungan antara keadaan yang
sesungguhnya atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan syarat-syarat
atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut.
Suatu kekhususan pada teori Saussure adalah
peleburan dari konsep linguistik ‘yang ditandai’ (signified) dengan
bayangan akustik dari bunyi yaitu ‘penanda’ (signifier).
‘Signified’ tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh
bahasa dari peristiwa-peristiwa tentang keadaan yang sesungguhnya.
Sebagai Substansi dan Bentuk
Sejumlah aliran dalam filsafat bahasa
mengemukakan pandangan- pandangan ontologisnya tentang hakikat bahasa. Cassier
misalnya menyatakan bahwa manusia adalah mahluk simbolis, mahluk yang
senantiasa menggunakan simbol-simbol, maka ia tiba pada suatu
pandangan ontologisnya bahwa bahasa pada hakikatya adalah merupakan bentuk
simbol-simbol saja. Bahasa merupakan hasil penyusunan pikiran
manusia. Bahasa adalah merupakan suatu bentuk mental yang berdiri
sendiri terpisah dari bentuk simbol-simbol yang lain sehingga
secara ontologis bukan merupakan substansi empiris. Dengan demikian
pandang filosofis semacam ini tidak memberikan tempat lagi hakikat empiris
bahasa yang berupa system bunyi ujaran yang dapat di serap dengan indra manusia.
Berbeda dengan pandangan Filosofis Cassier
para tokoh paham strukturalisme radikal justru memiliki
pendapat berlawanan, sebagai mana yang dikembangkan oleh Bloomfield
dan para penganutnya yang setia, Bloomfield berpendapat bahwa hakikat bahasa
secara ontologis adalah merupakan realitas empiris, bahasa adalah merupakan
suatu sistem yang bersifat empiris. Kaum srukturalisme ini tidak
mengakui realitas metafisis bahasa. Makna adalah ditentukan oleh
struktur empiris bahasa. Makna yang berhubungan dengan realitas di luar bahasa
seperti benda-benda, alam semesta, konsep-konsep maupun nilai adalah
berada di luar struktur empiris bahasa, Secara epistemologis hakikat makna yang
menyangkut realitas dunia yang berada diluar realitas struktur bahasa, adalah
merupakan bidang kajian ilmu-ilmu pengetahuan yang lainya dan tidak memiliki
sangkut paut dengan ilmu bahasa.
Pandangan filsafat yang lain di bidang bahasa
memiliki konsep yang berbeda dengan kedua paham tersebut di atas. Bahasa pada
hakekatnya adalah merupakan suatu substansi, baik substansi yang bersifat
empiris misalnya bahasa pada hakikatnya atas tersusun atas sesuatu yang dapat
di indra. Dalam pengertian ini subtansi bahasa berkaitan dengan dua aspek yaitu
substansi benda-benda atau realitas dunia empiris dan substansi system lambang
yang digunakan untuk mengungkapkan bahasa, yaitu suara yag kita ucapkan atau
lambang-lambang yang kita gunakan.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut maka
terdapat dua kelompok paham yang secara filosofis berbeda yaitu
hakikat bahasa yang hanya di pandang sebagai bentuk atau struktur saja. Kedua
pandangan tersebut dengan sendirinya memiliki konsekuensi epistemologi yang
berbeda pula, dan pada gilirannya sistem analisis dan dasar kebenaran dalam
ilmu bahasa juga akan berbeda, sesuai dengan pandangan ontologis masing-masing.
Sementara terdapat dua kelompok paham dalam
filsafat bahasa yang memiliki pandangan ontologis yang berlawanan terdapat
jumlah teori yang mendasarkan pada teori ontologis yang merupakan sintesa
antara substansi dan bentuk. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan
substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun
bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal itu dapat dianalisis
dalam tiga aspek substansi dan bentuk bahasa yaitu: (1) Substansi bahasa yaitu
berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut tentang benda dan pengalaman tentang
benda- benda tersebut, serta pikiran- pikiran dari penutur bahasa. (2)
Substansi ekspresi bahasa, yaitu bunyi yang kita gunakan untuk membicarakan
pikiran-pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan yaitu benda- benda tersebut.
(3) Substansi isi dan ekspresi , yaitu apa yang dibicarakan dan alat- alat yang
digunakan untuk membicarakan tersebut.
[if
!supportLists]1. [endif]Bahasa sebagai Substansi
Isi
Terdapat teori-teori bahasa yang mendasarkan
pemikirannya bahwa bahasa adalah menyangkut isi, yaitu realitas yang menyangkut
segala sesuatu yang dapat dibicarakan, alam, benda-benda, dan segala sesuatu
serta pengalaman kita tentang realitas tersebut. Bahasa sebagai isi juga
menyangkut tentang bagaimanakah tentang pembentukan pola penyusunan arti
tersebut, yaitu bagaimanakah hal-hal yang menyangkut realitas dan ide-ide yang
dibicarakan manusia dirangkaikan dengan kesatuan arti sehingga pendengar dapat
memahami arti yang dimaksud penuturnya.
[if
!supportLists]2. [endif]Bahasa sebagai Ekspresi
Dalam filsafat bahasa terdapat suatu paham
yang menyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya merupakan suatu alat pengungkapan
(ekspresi), yang tersusun dari substansi ekspresi dan penyusunannya. Bahasa
juga merupakan suatu hubungan antara beratus-ratus bunyi yang kita hasilkan
pada waktu kita berbicara dan bunyi-bunyi lain yang tepilih dan dikelompokkan
oleh bahasa.
[if
!supportLists]3. [endif]Bahasa sebagai Isi dan
Ekspresi
Terdapat juga suatu teori yang mendasarkan
pada suatu pemikiran filsafat bahwa bahasa pada hakikatnya adalah sebagai isi
dan ekspresi. Sebagai isi yang menyangkut segala sesuatu yang menjadi acuan dan
pengalaman tentang acuan bahasa serta formulasinya dalam unit-unit bahasa.
Sebagai ekspresi yang menyangkut media fisik bahasa yaitu berupa bunyi dan
formulasi media bunyi ke dalam unit-unit ekspresi, misalnya fonem. Hal itu
dapat meliputi tiga
Kesimpulan
Dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol
yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut
secara ontologis tidak dibentuk oleh manusia namun ditentukan oleh alam, atau
dengan pengertian lain terjadi secara alamiah.
Hakikat bahasa bukanlah merupakan suatu
substansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak
dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia.
Demikian juga bahasa bukan merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia
melalui bunyi ujaran bahasa.
Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi
saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada
hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal itu dapat dianalisis dalam tiga
aspek substansi dan bentuk bahasa yaitu, substansi bahasa, substansi ekspresi
bahasa, substansi isi dan ekspresi.
BAB VII
PERANAN BAHASA DALAM
FILSAFAT
POST MODERENISME
LOGOSENTRISME
Setidaknya ada empat fase perkembangan filsafat, sejak
dari perkembangan pertama hingga kini. Ke-empat fase itu adalah :
Kosmosentris, yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana
filsafat yaitu yang terjadi pada zaman kuno.
Teosentris, yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan tuhan sebagai pusat pembahasan
filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.
Antroposentris, yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filosofis,
hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
Logosentris, yaitu
fase pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat wacana filsafat,
hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang, yang disebut pasca
modern atau postmodern.
Pembahasan ini lebih mengerucut era
logosentris. Jika pada era antroposentris, manusia memproklamirkan kekuatannya
lewat rasio Cartesian dan eksistensialismenya, maka pada era logosentrisme,
filsuf-filsuf postmodernisme justru memaklumkan kematian manusia sebagai subjek.
Hal ini dikarenakan pada zaman postmodernisme manusia tidak lagi dilihat
sebagai subjek bahasa, subjek pemikiran, subjek tindakan, dan pusat
sejarah bahkan manusia tidak dipandang sebagai pusat pemaknaan realitas.
Adapun dalam perkembangan Logosentrime ada
dua visi yang berkembang yaitu :
1. Visi
Phenomenologik
Dalam visi phenomenologik, pusat obyek wacana
atau discourses ilmu pada logosentrisme adalah tanda. Tanda
pada first order of logic adalah matematika, adapun tanda pada
second order of logic adalah bahasa.
2.
Visi Kebahasaan
Melacak logosentrisme adalah melacak
perkembangan dari strukturalisme phenomenologik dan akhirnya menjadi
postsrtukturalisme Derrida. Setelah dikenal strukturalisme sosial
phenomenologik, maka studi bahasa atau karya sastra tersebut
dikenal sebagai studi hermeneutik, studi tentang metoda dan prinsip
untuk memahami metoda.
Strukturalisme linguistik
Strukturalisme de Saussure adalah
strukturalisme positivistik. Setelah strukturalisme de Saussure lahirlah ilmu
hermeneutik atau ilmu tentang penafsiran seputar logos atau
seputar struktur dan sistem bahasa. Bahasa menjadi alat untuk
mengekspresikan fikiran dan perasaan manusia.
[if !supportLists]b.
[endif]Hermeneutik Ontologik
Di tangan Ricouer dan Gadamer hermeneutik
berkembang menjadi pandangan filosofik. Sebagai pandangan filosofik,
hermeneutik dipermasalahkan oleh para phenomenolog. Menurut Ricouer :
hermeneutik adalah ilmu interpretasi terhadap interpretasi. Interpretasi
tahap pertama adalah
interpretasi penulis terhadap logos atau struktur bahasa dan sistem bahasa guna
mengekspresikan pengalamannya, dan interpretasi tahap kedua adalah interpretasi
pembaca teks atas interpretasi penulis pada pengalamannya.
c. Menarik sebagai
subyek dan obyek
Dengan logosentrisme manusia kehilangan
dirinya sebagai subyek. Dengan strukturalisme de Saussure manusia tidak lagi
menjadi subyek bahasa, bukan subyek berfikir, dan bukan subyek
tindakan melainkan menjadi yang dibicarakan, yaitu yang dibicarakan
sesuai dengan struktur bahasa, struktur sistem
sosial-ekonomi. Manusia bukan lagi pencipta struktur dan mengendalikan
sistem, melainkan obyek yang dikendalikan oleh struktur dan sistem.
Agar
manusia tidak lagi menjadi obyek yang dibicarakan sesuai kaidah struktur dan
sistem bahasa, maka karya sastra seseorang harus dibaca sesuai teksnya, jangan
membawa prakonsepsi tertentu, demikian Derrida.
POSTMODERNISME
Pengertian Postmodernism
Istilah postmodern dipakai pertama kali oleh
Frederico de Oniz pada tahun 1934 dalam konsep yang jauh berbeda dengan konsep
yang berkembang sekarang. Postmodernisme menurut de Oniz hanyalah periode
peralihan (dalm sastra) dari modernisme awal ke modernisme dengan kualitas
lebih tinggi.
Arnold Toynbee pada tahun 1947 menggunakan
kata postmodern sebagai ciri peralihan politik dari pola pemikiran negara
nasional ke interaksi global. Politik budaya Bhineka Tunggal Ika atau unity
in diversity menurut penilaian penulis merupakan konsep yang valid
bagi postmodernisme, karena salah satu ciri utama postmodernisme adalah
pengakuan pluralisme budaya. Barulah pada tahun 1970-an postmodernisme sebagai
filsafat ditampilkan oleh Loytard dalam suatu seminar diantara para ahli
filsafat.
Sebelum mendefinisikan posmodernisme,
pemahaman tentang modernisme juga diperlukan dan dimungkinkan untuk mengukur
posmodernisme. Dalam arti umum Oxford English Dictionary mendefinisikan istilah
modernisme sebagai : pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan
untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah keyakinan agama agar harmonis dengan
pemikiran modern. Modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang
ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan.
Postmodernisme Menurut Lyotard mendefinisikan
postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua
narasi besar yang cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu
pengetahuan. Menurut Antoni Giddens, postmodernisme adalah sebuah
estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya
untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang
berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai
postmodernita. postmodernisme adalah "fenomena budaya dan intelektual".
Menurut Michael Foucault, postmodernisme akan
menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun,
jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi.
Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas,
lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
Menurut Habermas postmodernisme itu
sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan elit atau
kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan. Menurut Pauline
Rosenau mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah
yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.
Latar Belakang Munculnya Postmodernisme
Postmodernisme telah muncul sebagai konsep
dalam arsitektur pada akhir 1940-an, dan dalam sastra muncul pada tahun
1960-an. Tetapi digunakan sebagai konsep umum baru muncul setelah konsep
poststrukturalis muncul. Konsep keduanya adalah menentang teori stabilitas
satuan, menentang satunya makna, menentang ugeran sentral dalam pemaknaan
sesuai tradisi, menentang otonomi karya aestethik. Jean-Francois Lyotard
menampilkan konsep sikap postmodern sebagai sikap tidak mau percaya (Incredulity) terhadap
metanarasi, terhadap pandangan monolitik. Mereka bukan pesimistik, tetapi
mereka melihat bahwa segala sesuatu itu berkembang, sehingga mengapa mesti
memberi makna yang begitu terus.
Gejala postmodernisme itu muncul dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan seni sastra, arsitektur, ilmu fisika, ilmu
sosial, filsafat, maupun bidang-bidang lainnya. Munculnya
postmodernisme dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni dan
filsafat selain berkembang di Amerika juga di Eropa terutama di Perancis. Dalam
bidang filsafat berkembangnya paham postmodernisme, tidak dapat dipisahkn
dengan berkembangnya strukturalisme dan poststrukturalisme yang memiliki
perhatian yang besar terhadap analisis bahasa.
Perkembangan paham pemikiran yang demikian
ini diistilahkan oleh Best Kellner denganPostmodern turn (pembalikan
kearah postmodern) (Best Kellner, 1991 : 24). Sumber perhatian
utama pemikiran postmodernisme dalam bidang filsafat adalah pada bahasa. Hal
ini sebagaimana kita lihat di Perancis misalnya Derrida mengembangkan
pemikirannya bertolak dari konsep strukturalisme bahasa Ferdinand de Saussure,
adapun Lotyard beranjak dari konseplanguage game Ludwig
Wittgeinstein (Awuy, 1995 :162). Gadamer mendasarkan pada prinsip
hermeneutikanya, yang dikatakannya bahwa berbicara tentang bahasa adalah
sebagai fungsi aktualisasi diri, sedangkan Habermas berbicara tentang bahasa
sebagai sarana integrasi sosial antara berbagai subjek komunikasi dan sarana
sosialisasi kebutuhan dan kepentingan yang melatarbelakangi komunikasi itu.
(Sugiharto, 1996 : 63), serta berbagai tokoh lainnya dimana pemikiran ini
berkembang di Jerman.
Postmodernisme yang merambah ke berbagai
bidang kehidupan tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan
modernisme yang dinilainya mengalami kegagalan. Modernisme yang berkembang
dengan ditandai oleh rasionalisme, materialisme, dan kapitalisme yang didukung
oleh sains dan teknologi mengakibatkan timbulnya disorientasi moral religius
terutama runtuhnya martabat manusia. Hal ini juga diakibatkan oleh berkuasanya
ilmu-ilmu positif-empiris yang merupakan standar kebenaran tertinggi sehingga
mengakibatkan nilai-nilai moral religius kehilangan wibawanya. Sehingga manusia
mengalami keterasingan, ketertekanana, depresi mental, bahkan tidak
jarang menimbulkan gerakan-gerakan tribalisme. Dalam pengertian
inilah maka tokoh postmodernisme hadir untuk melakukan dekonstruksi
paradigma modernisme dan dalam dunia filsafat upaya dekonstruksi dilakukan
sebagai upaya untuk menemukan paradigma baru dalam memahami hakikat manusia
melalui wacana kebahasaan.
3.
]Ciri-ciri Postmodernisme
Era Postmodernisme yang meletakkan bahasa
sebagai pusat wacana filsafat memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;
a. Bahasa semata dinilai
sebagai cermin realitas yang menunjukkan kesepadanan logis anatara dunia
realitas dan bahasa.
]b. Manusia adalah bahasa dipandang
sebagai keberagaman sistem permainan dalam berbagai macam konteks kehidupan.
d. Permainan bahasa lebih
menekankan pada aspek pragmatik daripada logis.
Bahasa sebagai pusat wacana memiliki andil
yang cukup besar pada era postmodernisme ini. Menurut Lyotard, legitimasi
terhadap pengetahuan tidak bisa bersandar pada satu narasi besar, sehingga ilmu
itu sekarang paling baik dipahami dalam pengertian “permainan bahasa”. Seperti
yang dikemukakan oleh Lyotard: “Ilmu pengetahuan tidak memiliki metabahasa umum
di mana semua keberagaman bahasa lain dapat diterjemahkan dan dievaluasi. Tidak
terdapat alasan untuk memikirkan adanya suatu kemungkinkan menentukan metapreskripsi
yang berlaku bagi semua permainan bahasa itu atau bahwa suatu konsensus yang
dapat direvisi seperti metapreskripsi yang berlaku pada waktu itu dalam
masyarakat ilmiah yang dapat mencakup keseluruhan metapreskripsi yang mengatur
pernyataan-pernyataan yang beredar dalam kolektifitas sosial”. (Lyotard, 1989:
64-5)
C. PERAN BAHASA DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME
Bahasa sebagai pusat wacana filsafat pada era
postmodernisme memiliki banyak peran, diantaranya :
Bahasa sebagai paradigma dekonstruksi
Tradisi modernisme secara linguistis
membangun suatu narasi besar yaitu totalitarian dalam arti hanya ada satu
prinsip saja yang mendasari dan membangun realitas ini, yang menurut istilah
Lyotard disebut homologi (Awuy, 1995:161). Manusia tidak dipahami sebagai
makhluk yang bersifat total tetapi bersifat parsial. Oleh karena itu manusia
haruslah dipahami dalam realitas keanekaragamannya. Dari sinilah lahirnya suatu
dekonstruksi terhadap paradigma modernisme yaitu melakukan suatu pembongkaran
dan menyusun kembali dalam suatu konstruksi baru akan tetapi bukan melakukan
penghapusan.
Seperti strategi dekonstruksi Derrida yang
secara sistematik dapat disusun dalam tingkatan langkah-langkah sebagai berikut
: pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya
kemudian terlihat peristilahanyang diistimewakan secara sistematik. Kedua,
oposisi-oposisi itu kemudian dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling
ketergantungan diantara hal-hal yang berlawanan itu. Ketiga, memperkenalkan
sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan kedalam
kategori oposisi lama (Derrida, 1981, dalam sugiharto,1996: 45,46).
Bahasa, menurut Derrida adalah pengalaman
empirik manusia yang difilter oleh idee-ideenya, sehingga bahasa adalah
proyeksi dari pemfilteran atas pengalaman sendiri. Ada unsur kreatif manusia.
Konsep bahasa Derrida (dan juga phenomenolog) memang bersumber pada filsafat
Descartes, Kant dan Husserl.
Pemaknaan Derrida tersebut berlanjut menjadi
pandangan bahwa makna dari suatu tanda akan berbeda dan berkembang terus, tidak
dapat dibuat kesepakatan tentang tanda-tanda tersebut, perlu telaah
berkelanjutan atas konstruk bahasa yang ada. Sehingga pendekatan Derrida
disebut pendekatan postsrukturalisme.
Derrida merupakan satu dari sekian tokoh
filsuf era postmodernisme yang melakukan dekonstruksi bahasa. Masih banyak
tokoh filsafat lainnya seperti Lyotard yang menganalisis bahasa melui model
paradigma language game milik Ludwig Weidgenstein yang berkesimpulan bahwa
realitas tidak mungkin diwakili oleh sebuah konsep bermakna tunggal.
Ada tiga karakteristik dalam setiap permainan
bahasa. Pertama, setiap aturan dalam permainan itu tidak mendapatkan legitimasi
dari dirinya sendiri melainkan merupakan hasil kontrak di antara pemainnya
(eksplisit maupun tidak). Kedua, jika tidak ada aturan maka tidak ada
permainan; suatu modifikasi kecil sekali pun terhadap sebuah peraturan akan
mengubah permainan itu. Ketiga, setiap pernyataan harus dianggap sebagai suatu
“move” dalam permainan.
Karakteristik ketiga ini dipakai Lyotard
sebagai prinsip pertama yang mendasari keseluruhan metodenya: mengeluarkan
suatu pernyataan (move) adalah bertarung – dalam konteks suatu permainan – dan
tindakan mengeluarkan pernyataan semacam itu berada dalam domain “general agonistic”
(pertarungan pernyataan/argumentasi). Prinsip “pertarungan pernyataan” ini
membawa Lyotard pada prinsip kedua, yakni bahwa ikatan sosial dari “move-move”
bahasa (language “moves”). (Kristanto, 2002: 8).
Berbeda dengan Lyotard, Richard Rorty datang
dengan pemikiran bahwa keunikan bahasa menjadikan keberagaman budaya. Setiap
budaya memilkiki peluang untuk mengambil posisi yang kedua itu, yaitu
berpeluang untuk meyakinkan budaya lainnya bahwa ia bgus karena menghasilkan
sesuatu yang meman bagus ( Rorty dalam Sugiharto, 1996: 25).
Selanjutnya Gadamer, bahasa dipahami sebagai
aktualisasi tradisi, dan dengan demikian hakikat pluralitas bahasapun tetap
merupakan paradigma bagi analisis hubungan antar budaya.
[if !supportLists]b.
[endif]Fungsi transformatif bahasa
Dalam prinsip logosentrisme, bahasa
semata-mata dipandang sebagai cerminan realitas yang menunjukkan adanya
kesepadanan logis, anatara dunia realitas dengan bahasa. Namun kompleksitas
hidup tidak dapat hanya dilukiskan melalui struktur logis bahasa. Kemudian
bahasa menurut filsuf pada periode Wittgeinstein diwujudkan sebagai suatu
keragaman sistem permainan dalam berbagai macam konteks kehidupan.
Munculnya bahasa menampilkan suatu
transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan ketaraf tingkatan
hakikat kodrat manusia, yaitu suatu keterpisahan mendasar dari kungkungan alam.
Munculnya bahasa adalah munculnya kemampuan reflektif. Berkat adanya bahasa,
manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri.
Keterbatasan bahasa
Berdasarkan pandangan filsuf tentang bahasa
pada umumnya persoalan tentang bahasa pada umumnya persoalan tentang batas
bahasa pada dasarnya berakar pada dominasi paradigma deskriptif dalam bahasa.
Segala hal yang tidak dapat dideskripsikan lalu dengan segera dikatakan sebagai
wilayah transenden dalam bahasa. Maka sebenarnya bukan berarti
wilayah transenden itu tidak dapat dirumuskan melainkan hal yang transenden itu
adalah sebutan yang kita pakai untuk menunjuk batas deskriptif bahasa.
Berdasarkan pada sifat keterbatasan bahasa,
maka terbukalah suatu kemungkinan paradigma lain dalam aspek pragmatis bahasa
yang kiranya akan lebih memadai yaitu paradigma transformatif, yang menekankan
pada fungsi transformatif bahasa.
Dari beberapa keterangan diatas, lewat
berbagai cara menunjuk pada persoalan bahasa. Bahasa yang merupakan persoalan
utama dalam masa postmodernisme, memiliki porsi yang cukup besar untuk dibahas
dan dianalisis oleh beberapa tokoh filsafat. Dengan demikian bahasalah akhirnya
yang turut andil dalam era postmodern.
D. KESIMPULAN
Dalam fase perkembangan filsafat dikenal fase
logosentrisme, yaitu sebuah pemikiran filsafat dimana meletakkan
bahasa sebagai pusat wacana filsafat atau lebih dikenal dengan pasca modern
atau postmodern.
Postmodernisme yang merambah keberbagai
bidang kehidupan tersebut sebenarnya sebagai suatu reaksi terhadap gerakan
modernisme yang dinilai mengalami kegagalan. Beberapa tokoh hadir sebagai
pendekar filsafat dalam masa ini untuk melakukan wacana
dekonstruksi terhadap pemikiran
sebelumnya, melihat bahasa sebagai fungsi transformatif dan memberikan batasan
bahasa.
Tokoh-tokoh filsafat pada masa ini
diantaranya Derrida yang mengembangkan pemikirannya bertolak dari konsep
strukturalisme bahasa Ferdinand de Saussure, adapun Lyotard beranjak dari
konsep ‘language game’ Ludwig Wittgeinstein (Awuy,
1995;162).Gardamer yang mendasarkan pada prinsip hermeneutiknya , Habermas,
dsb.
Dari berbagai usaha, pemikiran para tokoh
filsafat diatas, dilihat dari berbagai cara, persoalan yang menjadi
sentral adalah tentang bahasa. Dekonstruksi Derrida mendasarkan
pada paradigma bahasa, Lyotard
menyarankan untuk kembali pada ‘pragmatika bahasa’ milik Ludwig Wittgeinstein,
Gadamer dalam buku Warheit und Methodeedisi II tahun 1965 dalam bagian ketiganya
membahas tentang peran bahasa dalam pergeseran ontologi hermeneutik dari
bahasa sebagai experience of the world menuju
universalitas hermeuneutik.
Oleh sebab itu, bahasa menjadi lakon dalam
perkembangan postmodernisme yang dimaknai sebagai sesuatu yang berkembang
(dinamis) dan tidak bisa dimaknai dengan sesuatu yang tetap.
Postmodernisme memiliki ciri-ciri yaitu bahasa semata dinilai sebagai cermin realitas
yang menunjukkan kesepadanan logis anatara dunia realitas dan bahasa, manusia
adalah bahasa, bahasa dipandang sebagai keberagaman sistem permainan dalam
berbagai macam konteks kehidupan dan permainan bahasa lebih menekankan pada
aspek pragmatik daripada logis.
Peran bahasa dalam postmodernisme adalah
bahasa sebagai paradigma dekonstruksi, fungsi transformatif bahasa dan
keterbatasan bahasa. Terlihat bahwa postmodernisme mampu membawa masyarakat
berfikir kritis dan dinamis hingga sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Alston,
P. William. 1964. Philosophy of Language. Prentice Hall Inc.,
London.
Armas,Adnin
dari Alan How, The Habermas-Gadamer, lihat Adnin Armas, Filsafat
Hermeneutika, h. 5.
Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan
Tanda, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 110.
Cassirer,
Ernst. 1962. An Essay on Man. United States Of America: Yake
University Press.
Endarmoko,
Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: PT Gramedia.
Hartoko,
Dick 2002 Kamus Populer Filsafat . Cet. III; PT. Raja Grafindo
Persada.
Hidayat,
Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kaelan.
1998. Filsafat Bahasa : Masalah dan Perkembangannya.
Paradigma Offset : Yogyakarta.
Kaelan.
2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan.
2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigama.
Kinayati.
2001. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rasjidi,
H. M. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: PT Bulan
Bintang.
Russell,
Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Oxford: Alden Press.
Thomson, John B. 2003. Filsafat Bahasa dan Hermeunitik Untuk
Penelitian Sosial.Surabaya: Visi Humanika.
Comments
Post a Comment