Skip to main content

What is Communicative language teaching and what factors led to its emergence in (ELT)



Introduction

This paper tries to explore the fundamental perspective of Communicative Language Teaching (CLT) in second and foreign language teaching. CLT is well-known as an approach rather than method. CLT has been widely dominated language teaching for almost two decades. It is also claimed, for some scholars, as communicative approach or communicative competence. Historically, CLT appears as a tandem of audio lingual method and traditional method. It has been argued that CLT is best approach in teaching and learning because it promotes learner to use language as a means of communication. However others may blame CLT approach. The problem occurs when the students can only understand structure of one language without being able to use it in real condition Therefore this paper is aimed at discussing the literature review on the definition and background of CLT, the importance of CLT, some crucial factors in its emergence in foreign language teaching and its implication to language teaching particularly the issues emerge in English language teaching in Indonesia.

CLT Theories

It is Hymes who promote the communicative competence and then (Canale, 1972; Swain, 1980 and Bachman, 1990 in Xin, 2007). According to Canale (1983 as cited in Beale, 2002:1) “communicative competence is underlying systems of knowledge and skills required for communication”. Therefore Canale and Swain (1980) propose four elements in communicative competence such as grammatical competence; sociocultural competence; discourse competence; and strategic competence. While in North America the term communicative competence is assumed as the goal of second language learning, British educators tend to see CLT as a syllabus and methodology (Hiep, 2007). Brown (1994) asserts that CLT focus on theoretical perspective about the genuine of language and language learning and teaching.
 In terms of modification of CLT, Savignon  (2002) again asserts that the main concern of CLT is centered learner. ‘Learner communicative needs provide a baseline for exploring program goals in terms of functional competence’ ( Hiep, 2007). The five concepts that Savignon (2002) argues are Language arts: language for purpose; personal English language use; theatre arts; and beyond the classroom. Those scholars have strived to find a finest formula for language methodology in language learning. It can be said that all scholars above agree to prescribe language learning in communication rather than solely studying grammar, vocabulary, and language form.

In addition, Beale (2002) comments that three concepts that develop CLT in language teaching: the use of language based on context; the need artificial communication; and the learner centered activities. These linguists have given great contribution to the development of communicative language teaching in pedagogical world particularly in learning and teaching. It helps learners to use language as a mean for communication.

Within two decades, CLT has been a dominant teaching approach in second or foreign language teaching around the world. According to Nunan (1991) the effect of CLT is pervasive at the level of syllabus and text book writing.  The main goal of CLT is bringing classroom atmosphere with communicative activities and all teaching materials, curriculum and syllabus are designed for increasing communicative competence. 


Accordingly, Savignon (2002) reveals that in developing communicative competence, language teachers may select materials that are appropriate to their context and give more freedom to their learner to express their ideas in communicative activities. Numerous communicative activities may be implemented in classroom such as role-play, game, puzzle-solving, or simulation (Hadfield, 1990). However, in traditional language teaching where teachers play dominant role, a limited time has given to the students to participate in language learning. As a result after a year of study, students can only understand about language forms. It is supported in a study in Japan by Scholefield (1997) who proposes that grammar translation method is still exists in Japanese classes.

Comments

Popular posts from this blog

MANTRA BUGIS MAKASSAR

MANTRA/  DOANGANG  ( doaG ) ANDI SAHTIANI JAHRIR Mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada anak keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam.  Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari ...

PAPPASENG TO UGI

PAPPASENG  BUGIS ( ppes) Pappaseng  berasal dari kata dasar paseng yang berarti  pesan  yang harus dipegang sebagai amanat, berisi nasehat, dan merupakan wasiat yang perlu diketahui dan diindahkan. Pappaseng dalam bahasa Bugis mempunyai makna yang sama dengan  wasiat  dalam bahasa Indonesia.  Pappaseng  dapat pula diartikan  pangaja’  yang bermakna nasihatyang berisi ajakan moral yang patut dituruti.  Dalam tulisan punagi (1983:1) dinyatakan bahwa pappaseng adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya (orang banyak) yang harus selalu diingat sehingga amanatnya perlu dipatuhi dan dilaksanakan atas rasa tanggung jawab. Mattalitti (1980:5) juga mengemukakan bahwa  pappaseng  bermakna petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang bugis zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik. Jadi,  pappaseng  adalah wasiat orang-orang tua dahulu kepada anak cucunya (generasi berikutnya) yan...

MAKALAH LANDASAN PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN

BAB   I PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan pendidikan  manusia dapat memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Banyak pendidik yang memaksakan kehendaknya kepada peserta didik untuk melakukan hal yang mereka inginkan sedangkan peserta didik sendiri tidak membutuhkanya, maka  setiap guru dituntut untuk memahami teori psikologi pendidikan  agar  potensi yang ada pada peserta didik dapat dikembangkan berdasarkan tahap perkembangannya.  Banyak para ahli yang memaparkan tentang perkembangan  peserta didik diantaranya Piaget, Carl R. Rogers, Kohnstam.  Pendidikan selalu melibatkan kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologi merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Sementara itu, keberhasilan pendidik dalam melaksanakan berbagai peranannya akan dipengaruhi oleh tentang  pemahamannya dalam pendidikan perkembangan peserta didik. Oleh karena itu...